Rabu, 09 April 2014

Resensi Novel MEMANG JODOH





Judul              : Memang Jodoh
Penulis           : Marah Rusli
Jenis Buku     : Fiksi
Penerbit         : Qanita PT Mizan Pustaka
Cetakan II      : September 2013
Harga              : Rp. 67.000,- at Gramedia
Tebal              : 535 halaman

Sinopsis
Memang Jodoh adalah novel terakhir dari penulis Siti Nurbaya karya Marah Rusli.  Buku ini menceritakan kisah kehidupan seorang pemuda di Padang, Sumatra Barat, yang selalu dipusingkan dengan perkara kawin dimanapun berada. Namun, Hamli yang merupakan tokoh pemuda Padang itu mampu melewati desakan-desakan oleh kaum keluarga dan juga adat sukunya yang menginginkannya untuk berpoligami.
Menurut Hamli, adat sukunya itu dirasanya sangat ganjil dan tidak bisa mengikuti perkembangan zaman. “Kata pepatah: musim beralir, zaman bertukar”, ujar Hamli kepada ibunya, perihal perkara kawin di negerinya.
“Dan dengan pertukaran zaman itu, bertukar juga keadaan. Yang lama diganti oleh yang baru dan keadaan yang ini membawa corak dan warna yang baru pula, yang mungkin tak dapat disesuaikan lagi dengan corak dan warna tua …” Begitulah pemikiran Hamli tentang adat perkawinan di negerinya. Cukup lama Hamli dan ibunya berselisih paham mengenai adat yang selalu diagung-agungkan di negerinya, Padang.
Hamli pun memutuskan untuk melanggar adat, merantau demi ilmu. Dan ketika dalam perantauan dia bertemu dengan mojang Priangan yang menawan hatinya, pilihan getir terpaksa untuk diambil. Hamli rela “dibuang” oleh adat dan orang tuanya demi cinta.
Marah Hamli, seorang siswa dari sekolah pertanian di Bogor meningkah dengan Nyai Din Wati yang berasal dari suku Sunda. Akibat pernikahannya itu, Hamli rela dibuang dari keluarganya. Ibunya, Siti Anjani pun tidak bisa berbuat apa-apa setelah mendengar kabar, kalau putranya menikah di perantauan dengan gadis yang berasal dari luar sukunya. Siti Anjani mendapat cemooh dari berbagai penjuru di negeri Padang perihal pernikahan yang tidak se-negeri (se-suku) itu. Nenek Hamli, Khatijah, yang sejak kecil merawat Hamli dan merawat Hamli selama di perantauan tidak bisa berbuat banyak kecuali merestui pernikahan cucunya dengan Din Wati. Karena berkat Din Wati, penyakit “aneh” Hamli bisa sembuh dan bisa meneruskan sekolah sampai lulus.
“Dari muka, dari belakang, dari kiri, dari kanan, aku dipersama-samakan, supaya aku tunduk kepada kebiasaan negeri kita (red.Padang), yaitu beristri banyak. Bagaimana aku dapat bekerja dengan baik untuk bangsa dan negara, kalau aku selalu dibisingkan dengan perkara kawin saja? Sedangkan, hatiku rasanya penuh cita-cita, untuk memperbaiki yang belum sempurna dan menambah yang masih kurang”. Kata Hamli kepada Nurdin, sahabatnya ketika masih sekolah Raja di Bukittinggi.
Berkat keteguhan hati Hamli dan juga Din Wati yang mengatakan bahwa pertemuannya adalah memang jodoh dan takdir dari Tuhan, maka segala aral rintangan yang datang dari keluarga Din Wati pdan juga keluarga Hamli pun bisa dilalui. Mereka menikah dengan sangat sederhana, dan bersembunyi-sembunyi. Hamli ditemani neneknya, Khatijah dan bibinya, Khalsum. Sedangkan Din Wati oleh ibunya, Ratu Maimunah.
Asal-usul Hamli, seorang pemuda rantau itulah yang menjadi sebab musabab sebagian besar keluarga Din Wati mengapa tidak menyetujui pernikahan kemenakannya. Apalagi dengan adanya cerita-cerita tentang adat Padang yang memperbolehkan seorang laki-laki untuk beristri banyak. Keluarga Din Wati tidak ingin melihat kemenakannya, Din Wati dimadu oleh Hamli. Namun, meskipun keluarga Din Wati tidak menyetujuinya, ayah Din Wati, Radin Jaya Kesuma yang saat itu sedang tugas keluar kota merestui pernikahan anaknya dengan pemuda rantau yang masih berstatus siswa dan belum bekerja itu, dari jarak jauh. Begitu juga ayah Hamli yang bernama Sutan Bendara pun merestui pernikahan anaknya dengan perempuan Sunda. Sutan Bendara tidak ingin anaknya bernasib sama, menikah lebih dari satu. Sutan Bendara masih mencintai ibunya Hamli, Siti Anjani, tapi karena sebagai putra Padang, Sutan Bendara tidak bisa berbuat banyak kecuali menuruti untuk menikah lagi. Namun, adat Padang yang begitu kaku dan keukeuh tidak menjadi penghalang bagi Sutan Bendara, Hopjaksa Medan, seorang bangsawan tinggi di Padang, yang berasal dari istana Pagarayung, Kerajaan Minangkabau dan dari Raja Nan Sebaris Ulakan di Pariaman itu untuk merestui pernikahan putranya, Marah Hamli.
Bujuk rayu serta guna-guna yang diperuntukkan untuk sepasang kekasih itu tak pernah berhasil.
Suatu saat, ketika Hamli berkunjung ke Padang tanpa ditemani Din Wati, untuk menjenguk ibunya, lagi-lagi Hamli disesali dengan masalah kawin dan kawin. Kesalahan Hamli karena beristri dengan yang berlain negeri telah membuatnya menjadi terdakwa serta berstatus orang buangan. Dan sidang adat pun digelar guna membicarakan hal ihwal perkawinan Hamli.
“… dan karena kau laki-laki Padang, kau harus menuruti adat Padang.” sela seorang hadirin sidang.
“Demikianlah jadinya, kalau anak-anak disekolahkan terlalu tinggi; jadi berbalik pikiran.” Umpat seorang keluarga yang tak muda lagi umurnya kepada Marah Hamli.
Mendengar perkataan ini, mulailah panas hati Hamli. “Bukan saya yang meminta supaya saya disekolahkan tinggi-tinggi. Jika saya tidak bersekolah dan tetap tinggal di kampung, dengan pengetahuan kampung, niscaya saya akan dapat pula menuruti segala adat istiadat Padang, yang jauh menyimpang dari adat bangsa-bangsa lain di dunia ini.”
“Lebih-lebih yang telah cerdik pandai, karena tak sesuai lagi pikirannya dengan pikiran orang Padang ini. Dengan demikian, sekalian kepandaiannya tak dapat dicurahkannya di negerinya sendiri melainkan akan jatuhlah ke tangan orang lain, yang lebih dapat menghargai kepandaian itu. Yang akan tinggal di Padang ini, hanyalah yang tua-tua, yang masih terikat aturan negerinya. Tetapi, mereka (red.tua) ini pun tak lama pula hidupnya; segera meningalkan bangsa dan negerinya. Siapa lagi akan mengurus negeri (red.Padang)? Ataukah akan menjadi seperti yang dikatakan orang Padang sendiri sekarang ini; Apabila dari “Minangkau”, minangnya telah keluar dari Padang ini, yang tinggal hanya ”kabaunya” lagi di negeri kita ini, untuk mempertahankan adat lembaga mereka …”, kata Hamli dengan kata-kata yang mulai kasar sehingga ibunya beberapa kali mengerling kepadanya, untuk menyabarkan.
‘”Jadi, pendeknya tak dapat kau menuruti permintaan kami?” tanya istri laki-laki yang benci kepada Hamli.
“Dengan sangat menyesal, saya ulang sekali lagi perkataan saya, tak dapat.” Sahut Hamli dengan pasti.
Setelah lulus sekolah, Hamli ditugaskan di Sumbawa kemudian ke Blitar. Peristiwa meletusnya Gunung Kelud yang telah memakan korban nyawa kira-kira 3.000 orang dan meluluhlantakan rumah serta harta benda turut menjadi kisah perjalanan hidup bersama anak dan istrinya. Akhirnya, Hamli harus pindah-pindah tempat kerja dengan alasan ini-itu. Kedatangan tentara Jepang, lalu tentara Inggris dan Belanda ke tanah Jawa, khususnya Semarang, turut menjadi kisah yang sangat memilukan untuk keluarganya.
Sebagai lulusan pertanian, tenaga Hamli sangat dibutuhkan oleh pemerintah. Berhubung dengan kesehatan badannya, terpaksalah pemerintah memberhentikan Hamli dengan ucapan terima kasih atas segala jasanya dan memberinya pensiun setinggi-tingginya.
Sejak saat itu Hamli tinggal dan beristirahat dengan keluarganya di Salabintana Sukabumi. Tatkala usia perkawinannya dengan Din Wati genap lima puluh tahun, dikumpulkannya seluruh anak-cucu, kemenakan dan menantu, kaum kelurga, sahabat, dan kenalannya, untuk memeringati dan merayakan hari yang amat penting baginya itu, dengan mengesahkan bahwa perjodohannya dengan Din Wati adalah jodoh sejati yang ditakdirkan Tuhan.
Tema
Tema yang tersirat dalam novel Memang Jodoh ini adalah tentang percintaan dan perjuangan dalam mempertakankan tali cintanya terhadap peraturan adat suku Padang. Hal itu dapat dilihat dari keteguhan cinta Hamli an Din Wati yang saling mencintai dan masing-masing tak ingin dimadu.
Kelebihan
Buku Memang Jodoh adalah cara penulis untuk memprotes anjuran poligami dari keluarga Padang. Buku ini menggambarkan bagaimana keras hati penulis dalam menentang poligami. Tapi disampaikan dengan cara santun. Buku ini sudah dibuat lebih dari 50 tahun yang lalu. Tepai baru boleh diterbitkan setelah orang-orang yang terlibat di dalamnya meninggal dunia. Penulis tidak ingin menyakiti hati keluarga di Padang. Sudah barang tentu, suasana dan adat di Padang dewsa ini tidak lagi selayaknya 100 tahun yang lalu. Dalam buku ini semua nama sudah disamarkan. Karena ditulis lebih dari 50 tahun yang lalu, bahas Indonesia yang digunakan dalam buku Memang Jodoh sejatinya tidak lagi sama dengan bahasa Indonesia yang digunakan saat ini. Namun, masih sangat nyaman untuk dibaca. Sambil mengenang kembali bahasa Indonesia dalam tatanan lama yang baik dan benar.
Kekurangan
Bagi yang tidak paham bahasa dari tanah Padang, ini akan menjadi kesulitan. Mengenai struktur atau silsilah garis keturunan adat Padang juga menjadikan harus sedikit berpikir untuk menggambarkannya. Karena itu berbeda dengan yang di Jawa. Ane sebagai orang Jawa sedikit ewuh untuk memahaminya. Namun, kisah cinta dan kehidupan yang penuh dengan perkara kawin membuat ane terus terpaku dan memelototinya untuk menghabiskan lembar demi lembar. Hehe.

***
Dan akhirnya, selesai juga resensinya. Setelah terkatung-katung beberapa bulan, sekarang bisa ngeshare ini cerita dan sedikit mencurahkan … #ups. 
Dari sekian buku yang menjadi rekomendasi, akhirnya tanpa ada unsur kesengajaan ane pilih buku “Memang Jodoh” dan dua buku lainnya dari sudut rak buku Gramedia. Setelah ane baca, sepertinya ane sudah mendengar cerita itu dari nara sumber (anak negeri Sumatra Barat). Ah! Itu hanya kebetulan saja, pikir ane. Dia biarlah menjadi dia, bukan Marah Hamli yang berani menerjang adat sukunya yang “istimewa” itu. Thank you for the story of the past… And now, I hope you're happy with your love :) 
Untuk mengetahui ceritanya secara utuh, silahkan membeli di toko-toko terdekat. Ini hanya sekelumit cerita yang terpenggal-penggal. Selamat membaca… :*

Tidak ada komentar: