Senin, 16 Desember 2013

Cerpen: Satu Detik



Satu detik, dua detik, aku masih berpikir. Sampai berubah menitpun mataku masih jeli menatap layar monitor, polos. Cukup lama.Mungkin karena aku sudah lupa bagaimana membuat alur cerita atau memang sedang tak ingin membuat cerita yang mengada-ada. Oh Tuhan! Terlalu naif jika aku tak mampu menulis deretan kisah yang selalu berputar-putar di kepala.
Dan menit pun bertumpuk menjadi deretan waktu yang panjang, jam. Aku masih termangu, berusaha mencari, mengumpulkan, menghias cerita yang sebenarnya tidak menarik. Tapi baiklah! Kali ini aku harus memaksa jari lentikku ini menari lincah dan memutar otak untuk menceritakan apa yang sebenarnya tidak terjadi dan tidak pelu terjadi. Ini hanya kisah fiktif, kawan! Cekidot :)
***

Angsana kuning
Entah sejak kapan, aku lupa,gadis ayu nun rupa itu selalu datang di tengah mimpi malamku. Dulu sekali, aku hanya melihatnya sekilas ketika sedang melakukan aksi di depan kantor rektor. Ia mengenakan baju biru lembut dan jilbab yang menutupi mahkotanya. Tampak cantik sekali. Sebagai mahasiswa baru, waktu itu, aku hanya ikut berteriak menuntut kebijakan kampus yang tidak masuk akal. “Tuntut Deno! Tuntuuuttt!!!” Semua berteriak, serentak. Wajah-wajah nanar saling bertatapan. Coretan-coretan di karton pun diangkat tinggi-tinggi sebagai wakil tuntutan kami.
Yang aku tahu, Deno adalah aktor penyebab tersendatnya bangunan gor kampus yang sudah bertahun-tahun mangkrak tanpa jelas juntrungnya. Ia-lah pengatur sistem keuangan dan pengepul dana hibah dari berbagai pihak. Dan ia juga lah yang mengatur masterplan pembangunan kampus. Tapi, tak satu pun programnya yang berjalan dengan baik. Demi Deno, kami menuntut dan berteriak hari ini.
Terik mentari yang menampar punggung tak membuat kami menyerah.Terus saja berteriak tanpa jeda. Namun sayang, teriakan itu berakhir sia-sia. Tak satu pun penggede kampus yang terlihat batang hidungnya. Mereka seperti seekor tikus yang bersembunyi dari kejaran kucing jalanan yang rakus. Hanya satpam-satpam yang bersikap sok bijak itu yang berusaha menenangkan kami.
Mahasiswa yang berlalu-lalang pun tiada peduli dengan apa yang terjadi. Mereka seolah acuh, membuang muka, masa bodoh dengan tikus-tikus berdasi yang berkeliaran di kanan-kirinya. “Tuntuuuttt!!!” suara bersahutan sambil meninjukan kepalan ke udara, serempak. “Tuntuuuuuttt!!!” suaraku lantang, gemas sekaligus kesal.
Aku membuang nafas panjang, sia-sia. Setiap aksi yang terjadi hanya menjadi hiburan bagi mereka-mereka. Itulah yang aku rasakan sampai detik ini. Seakan usaha untuk menegakkan keadilan dengan cara itu sudah tidak manjur, tertelan zaman. Beda sekali ketika masa reformasi, lima belas tahun silam. Sekarang, semua orang acuh, apatis.
Gadis itu berhenti, melihat aksi-ku. Tidak banyak yang ia lakukan.Ya, ia cukup melempar senyum tenang dari jarak lima meter. Lalu kembali melanjutkan langkahnya. Aku sempat menoleh kearahnya, namun sayang, hanya terlihat punggungnya yang mulai mengecil, meninggalkan.
Itu empat tahun yang lalu. Empat tahun yang cukup lama untuk menyimpan banyak Tanya. Siapa gadis anggun itu? Dari fakultas apa? Dan siapa namanya? Ia seperti pelangi yang tak pernah terlihat disepanjang musim kemarau. Begitu langka di antara para gadis kebanyakan.
Aku menghembuskan nafas kuat. Menyelonjorkan kaki di bawa meja, ruang baca, di perpustakaan. Satu persatu halaman buku yang sejak satu jam lalu-ku cengkeram kini mulai menipis. Lalu-lalang mahasiswa semakin banyak, namun suasana tetap tenang dan kondusif. Udara yang berhembus dari balik jendela membuatku betah berlama-lama menghabiskan tumpukan-tumpukan buku yang sudah lama mengantri, sabar.
“Eh! Ni abang yang suka aksi di depan kantor rektor, bukan ya?” suara lembut itu menghentikan bacaanku. Aku berpikir sejenak, “Hmm iya,,” menoleh, menyelidik wajah yang menyembul tiba-tiba di depan mataku.
“Raisa.”Ia menjulurkan tangan.
“Panggil aja Bang Say.”Tanganku menyambutnya, bersalaman. Seketika nafasku tertahan untuk beberapa detik. Mengingat peristiwa empat tahun silam dan juga gadis dalam mimpiku. Benar! Ini senyum yang telah lama aku nantikan. Senyuman manja yang tertunda oleh waktu yang cukup lama. Dan sekarang, senyum simpul itu terlihat jelas di depan mata. Hanya berjarak tak lebih dari lima jengkal. Rasanya seperti turun hujan setelah tujuh tahun dilanda kemarau, mengerikan.
Raisa mengangguk, senyum ramah mengembang lagi.
Lesung pipinya. Aku pernah melihat lesung pipi itu di dalam mimpi. Namun, di dalam mimpi ia tampak murung, tidak seperti sore ini. “Ah! Itu hanya mimpi,” tepisku segera membuang firasat buruk.
            Aku masih tertahan, salah tingkah sambil berusaha menguasai diri. Antara terkejut, bingung, dan senang, menyatu. Aku pun mengatur nafas.
“Abang, bukankah aksi itu percuma dan kuno?”Ia mengawali pembicaraan, memecahkan keheningan. Aku menarik kursi, membenahi posisi duduk. Ia lebih dulu duduk dengan posisi yang nyaman sambil menatapku, ingin tahu.
Aku tertawa samar, “Apapun hasilnya, setidaknya itu akan membuat mereka terpojok.”jawabku sekenanya sambil berusaha memasang wajah semanis mungkin. Masi belum percaya gadis yang selama ini aku tunggu, aku cari, bahkan hadir di dalam mimpi tengah duduk memandangku antusias. “Dan kau jadi tahu, bukan? Apa yang terjadi di kampus tercinta ini?” Kali ini aku tertawa menggoda. Berusaha mencairkan suasana tegangku sendiri. Raisa pun ikut tertawa kecil.
“Iya deh! Salut buat aksi-aksinya.” Raisa mengacungkan kedua jempolnya. “Aku duluan bang, sudah ditunggu teman di luar.” Ia menarik tubuhnya dari kursi. Membenahi beberapa tumpukan buku yang beberapa menit lalu diambilnya dari rak untuk dilaporkan kepada petugas perpus, lalu berlalu sebelum aku bertanya balik kepadanya.
“Oke, silahkan!” aku mengangguk. Dan Raisa kembali tersenyum sebelum benar-benar meninggalkan kursinya. Aku sungguh mengingat senyuman itu. Bibir tipis berbalut lipgloss merah lembut beserta lesung pipi yang nyaris tiada duanya di dunia ini. Raisa pergi meninggalkanku dengan segala tidak kepercayaanku atas hadirnya, sapanya, dan senyum lembutnya.
Seketika kembali sunyi.
Aku pernah mendengar dari beberapa mahasiswa. Raisa adalah gadis yang tertutup. Di antara puluhan laki yang ingin mendekatinya, tak satupun yang bisa meraih isi hatinya. Raisa hanya bergaul dengan anak-anak perempuan. Mungkin sebentar lagi aku akan menjadi salah satu bagian dari puluhan laki-laki sia-sia itu. Tak mampu mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di dalam hidup gadis itu? Karena aku sendiri bukan tipe laki-laki yang romantis apalagi penakluk wanita. Aku terlalu sibuk dengan tumpukan buku, isu-isu kampus bahkan negara yang terus saja menumpuk seperti sampah yang bau busuknya semakin merajarela.
Memang. Aku kadang iri dengan mereka yang menghabiskan waktunya untuk bermain ke sana-kemari bersama kekasihnya. Mengukir kenangan manis, menyumet lilin di malam remang hanya untuk sekedar dinner atau bercanda. Aku bukan mereka yang bisa mencintai wanitanya sepanjang malam, jam, menit, maupun detik.
Dan malampun menjemput. Satu dua orang mulai mengisut meninggalkan perpus yang luas, penuh dengan deretan buku yang membisu. Bagi mahasiswa semester tua, malam bukanlah hal yang menyeramkan ketika harus duduk di perpustakaan seorang diri. Justru, kebanyakan mahasiswa yang telah usia lanjut sering menghabiskan waktunya berlama-lama di perpus sampai benar-benar ada petugas mengusirnya.
Kali ini, aku pun mengalaminya. Diusir, karena jam jenguk perpus sudah habis.
***
Pagi ini masih terbungkus embun, rapat. Baunya tercium mesra berkat semilir angin yang berhembus pelan. Dahan-dahan palm di sepanjang jalan menuju area parkir fakultas komunikasi bergerak lembut menyambut kedatanganku. Angin itu menggoyangkan daun-daun penuh kelembutan. Seperti penari jawa yang melenggangkan badan, menggerakan sampur penuh kehati-hatian, namun penuh dengan makna. Atau seperti seorang kekasih yang membelahi lembut rambut gadisnya.
Aku meletakkan beberapa tumpukan stopmap yang berisi revisian skripsi di kursi, samping area parkir, yang biasanya dijadikan tempat anak-anak nongkrong. Mataku menyelidik, membuka lembaran revisian yang di corat-coret dosen tua renta tapi tetap saja aku mengidolakannya. Menurutnya demokrasi yang selama ini diagung-agungkan masih menjadi isapan jempol. Di tengah euforia demokrasi terdapat setumpuk kegelisahan. Mungkin benar apa yang dikatakan Ronggowarsito, jamane jaman edan yen ora edan ra keduman. Semua akan berebut kekuasaan tanpa pandang bulu. Yang gila semakin menggila, yang waras jadi ikut gila.
“Gila! Mau tidak mau aku harus selesai minggu ini.” Mataku terbelalak membaca pesan singkat Nano. Pendaftaran wisuda habis di bulan ini. Aku menelan ludah, memastikan semua akan berjalan lancar sebelum spanduk pembayaran semester depan terpasang di setiap pintu masuk fakultas. Aku mendesis penuh harap.
“Abang, bisa minta tolong?” suara perempuan tiba-tiba terdengar samar. Aku menoleh, melihat gadis kemarin sore itu kembali berdiri di sampingku. Benar-benar pagi yang gila. Kabar dari Nano sekaligus kedatangan Raisa yang tiba-tiba membuatku semakin gila.  Ia berdiri tiga jengkal dari mata telanjangku.Terlihat cantik, sempurna.
Aku masih menoleh, ““Eh! Iya Raisa, ada, ada  yang bisa abang bantu?” suaraku tergagap. “Duduk dulu,” pintaku cepat sambil memindahkan tumpukan stopmap ke atas pangkuanku.
“Raisa boleh minta pulsanya, buat sms emak di kampung, ga bang?” katanya tanpa basa-basi. Terlihat setumpuk kesedihan di raut wajahnya. “Counter masih pada tutup bang.” Lanjutnya manyun. Aku mendengarkan, takzim. Menatap bibirnya yang melengkung ke atas. Tapi tetap saja tak ada yang berkurang dari kecantikannya. Siapa yang tidak terpikat oleh gadis secantik Raisa? Melihat bibirnya mengembang saja sudah tak karuan rasanya. Apalagi dimintain bantuan di sepagi ini, dimana belum terlihat dosa-dosa yang berkeliaran. Nafasku mendesis, senang.
“Ini-ini. Pulsa abang masih banyak.” Raisa mengambil alih ponsel jadul dari tanganku. “Emak di telpon aja, biar bisa dengar suaranya.” Pintaku bijak.
“Terima kasih bang, sms aja.” Sahutnya cepat lalu sibuk mengetik ponsel milikku.Ia tampak serius. Tak terlihat lesung pipinya, mata bulatnya yang berbinar. Hanya terlihat bibirnya komat-kamit mengeja setiap kata, di layar ponsel.
Untuk sekian menit, hening.
“Sudah bang, Raisa duluan ya.Terima kasih sekali lagi.” Terlihat ada kesedihan di sorotan mata indah itu. Begitu ketara.
“Iya Raisa, hati-hati di jalan.” Balasku berusaha memahami isi hatinya. Aku terdiam sepanjang Raisa masih terlihat punggungnya.Ia berjalan tergesa. Entah apa yang sedang menimpa perasaannya. Siapa pula yang merenggut senyum renyahnya? Untuk sekian menit, aku berusaha mencari jawab lewat gelagat ganjilnya. Sambil garuk-garuk kepala, aku melangkah meninggalkan bekas duduk Raisa untuk menemui sang eksekusi tulisanku.
***
Huuuuffffff….  Aku membuang nafas panjang berkali-kali. Setelah mengeksekusi skripsi yang sudah lama terkatung-katung akhirnya sekarang bisa bernafas lega. Sedikit ada pencerahan setelah selama berbulan-bulan bertapa di perpustakaan, lari sana- sini mencari data dan narasumber, hari ini terbayar sudah. ACC bab empat. Tinggal menghitung hari, out dari kampus ini.
Matahari pun agaknya tengah bersuka cita. Tidak seperti biasanya yang terlihat muram, bersembunyi di balik awan kelabu. Sinarnya menembus rimbunan pohon angsana yang menjulang tinggi. Betapa indahnya hidup ini. Di warnai oleh maha karya Tuhan yang menakjudkan. Bunga-bunga angsana kuning berjatuhan, menyebar. Menutupi setiap ruas jalan. Seperti lautan kuning yang menggemaskan. Layaknya musim semi di Jepang. Bunga Sakura bermekaran di sepanjang jalan. Bagi penduduk Jepang, itu mempunyai arti yang sangat luar biasa. Ya, mekarnya kuncup-kuncup bunga berwarna putih dan pink adalah awal masa depan yang cerah yang penuh dengan pengharapan. Selain itu bunga sakura memiliki makna tentang kehidupan yang hening, sejuk, bahagia dan tenang. Bunga ini juga bermakna akan sebuah perpisahan, yakni ketika bunga-bunga yang menawan itu mulai berguguran.
Pandanganku mengeliling, melihat hamparan jalan yang menguning, terinjak-injak oleh ratusan kaki yang hilir mudik mengejar waktu di kampus ini. Tiba-tiba, aku teringat Raisa.
“Mak, maafin Raisa ya ga bisa membuat emak bahagia. Sampekan salam buat bapak, nanti jam tiga Raisa ke luar negeri ada study of change. Untuk perjodohan itu, sebaiknya ditunda dulu sampai Raisa benar-benar bisa melupakan Bang Topan. Terima kasih mak, doakan Raisa baik-baik saja.”
Mataku terbelalak. Membaca pesan singkat itu berkali-kali. Aku berusaha mencerna apa yang sedang menimpa gadis cantik itu. Keluar negeri? Itu berarti ia tidak hanya meninggalkan emak, Topan, dan calon jodohnya, tapi  Raisa juga akan meninggalkanku. Menghilang begitu saja sebelum aku benar-benar mengenalnya. Belum tahu apa kesukaannya? Apa hobinya? Warna favoritnya? Dan apa yang membuat ia menjauhi laki-laki selama ini. Ah! Topan? Siapa Topan? Sejauh apa hubungannya dengan Topan hingga tidak menginginkan perjodohan yang digelar keluarganya. Seberapa penting laki-laki itu dalam hidupnya? Aku mengbuang nafas, percuma.
“Sebelum terlambat, aku harus menemukannya.” gumamku lirih, bangun dari duduk, meninggalkan kebebasan yang baru saja aku nikmati. Aku berlari kecil, mencari jejak keberadaan Raisa. Bertanya ke beberapa mahasiswa yang melintas di depanku. “Oh Tuhan! Bodoh sekali diriku. Gadis yang telah menemani mimpiku selama ini akan pergi. Bodoh!!! disaat ia menghampiriku tanpa aku minta, aku tak memanfaatkannya dengan baik.” Gerutuku, menyumpahi. Sampai mentari benar-benar tenggelam, lelap dalam pangkuan, aku tak menemukan keberadaan gadis rupawan itu. Menyesal.
***
Tak ada yang spesial di hari ini. Kecuali tadi pagi, bab terakhirku sudah di ACC oleh kedua pembimbing. Antara senang karena PR-ku di kampus ini hampir selesai, namun juga sedih kehilangan orang yang aku puja selama ini, Raisa. Aku menatap monitor lipat, tanpa ekspresi. Kegalauan sedang menimpaku siang ini. Entah, di luar sana matahari juga turut berduka atas perasaan ini.
“Tidak mungkin kalau aku menghubungi nomer emaknya Raisa. Itu hanya akan menambah masalah. Karena aku belum mengenalnya.” Pikirku dalam hati, melamun. “Tapi, dimana aku harus  menemukannya?” Tanganku mengusap wajah, pasrah.
Di luar, rintik lembut menyambut kegelisahanku. Begitu juga perpustakaan, hari ini terlihat lengang, seperti acuh atas kesedihan yang menimpaku. Mungkin saja detik ini para pengunjung perpus ingin bersantai menikmati gerimis bersama kekasihnya. Saling bermanja dengan diiringan gerimis lembut di emperan, di rumah makan, atau nonton bioskop romantis. “Satu detik, aku telah kalah. Kehilangannya untuk selama-lamanya.” Gumamku lemah.
“Abang?”
Suara itu menyentakkan. “Raisa???” menoleh ke arahnya tanpa berkedip. Aku mencubit pahaku, berusaha meyakinkan kalau gadis itu benar-benar gadis yang membuatku kalang kabut. Aku terhenyak, berdiri, lalu mempersilahkannya duduk, di depanku, tepat di sebelah jendela perpustakaan, lantai tiga.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanyaku basa-basi mengawali, masih terkejut.
“Hanya ingin bersantai sejenak saja, bang.” Balasnya berusaha menutupi pilu. Ia melempar senyum simpul. Seakan memamerkan dirinya sedang baik-baik saja. Ia menaruh beberapa buku di meja. Terlihat buku warna kuning langsat, Siti Nurbaya karya Marah Rusli.
“Oohh!” aku mengangguk ringan sambil melirik tumpukan buku di depannya. Berusaha menerima jawabannya, yang sebenarnya jauh dari keadaan yang aku lihat sekarang ini.
“Abang sendiri?” tanya Raisa menyelidik.
“Hah? Aku?” spontan telunjukku menuding hidungku, diikuti bola mata membulat. Raisa mengangguk. “Ini sudah menjadi salah satu bagian hidupku, duduk termenung seorang diri.” Jawabku sedikit melampiaskan kesepian yang selama ini telah membelenggu. Aku tersenyum getir mengakhiri.
“Iya, aku tau itu. Aku sering melihat abang duduk di sini. Hanya saja, maaf, aku tidak pernah menyapa abang.” Raisa menunduk merasa bersalah.“Abang saja yang terlalu acuh dengan orang-orang yang berkunjung ke sini. Abang sudah terhipnotis oleh lembaran-lembaran tulisan para tokoh nasional maupun dunia. So, i don’t want to disturb you.” Lanjutnya jujur dengan ekspresi kesal karena keegoisanku.
Aku menyengir sambil mengibaskan tangan. “Ah! Itu hanya sebagian kecil yang kau tahu dariku.”
“Hmmm, abang kenapa tidak mengajak teman atau pacar ke sini? Mungkin akan lebih hidup lagi.” Raisa menatapku, serius. “Eh! Maksudku, jika ada point penting yang perlu didiskusikan, kan enak kalau ada temannya, bang.” Raisa tertawa malu sambil membenahi jilbab merah yang mungkin menurutnya sudah berubah posisi.
“Sekarang aku sudah bersama teman, atau bisa jadi calon kekasih.” Jawabku menggoda sambil tertawa lepas.
“Hmm gitu ya bang?” timpalnya cepat dengan ekspresi datar.
Begitu polos. Dan aku pun tertawa lebar memecahkan kesunyiaan siang itu.“Kau terlihat begitu takut mendengar ucapanku barusan?” Aku menyelidik. Berusaha membaca mimik wajahnya.
Raisa terdiam, cukup lama. Seketika tawaku terhenti, menggigit bibir. Terlihat ekspresinya begitu serius, antara ada luka dan terbayang-bayang masa lalu. Di saat seperti itu, aku ingin sekali memeluknya. Mencairkan hatinya yang sedang menggumpal setumpuk kesedihan.
Aku tersenyum simpul, “Are you oke?” memasang wajah simpatik.
 I’m fine, bang.” Balasnya datar, sedikit mengangguk.
Aku membuang nafas perlahan, “Syukurlah, tapi aku tak melihat Raisa di sini. Apa kau telah merenggut Raisa yang dulu. Raisa yang selalu tersenyum tulus? Apa kau bukan Raisa? Hah?” Aku memberondong pertanyaan dengan intonasi pelan, berusaha menjaga perasaannya. Menelangkupkan ke dua tangan di atas meja, sambil terus memandang semburat wajahnya yang terkesan ganjil.
“Maaf bang, sms yang Raisa kirim ke emak itu bohong. Abang pasti sudah membacanya?” Ia memandangku, sayu.
Aku mengangguk pelan,“lantas?”
Giliran Raisa yang membuang nafas, terdengar desisnya kuat. “Raisa belum bisa menggantikan nama Topan di hati Raisa. Topan harusnya jadi milik Raisa selamanya. Tapi….” Ia memutus ucapannya. Terlihat bulir bening keluar dari sudut matanya. “Topan hanya laki-laki kampung bang, menurut keluarga, dia tak pantas untuk Raisa. Dan Raisa ingin dijodohkan.” Ia menunduk, mengakhiri ceritanya.
Aku menelan ludah. Harusnya aku mengenalnya sejak dulu. Sejak pertama kali aku melihatnya, di depan kantor rektor. Mungkin saja dengan begitu, tidak akan ada perjodohan mapun Topan di hatinya. Topan? Laki-laki kampung? Ah! Menurutku itu sudah banyak kisahnya. Laki-laki kampung menikah dengan gadis cantik dan juga lebih tinggi pendidikannya. Asalkan laki-laki itu tanggung jawab dan membuat istrinya bahagia, kenapa harus dipermasalahkan. Dunia ini tak adil. Sedang Tuhan telah menciptakan keduanya bertemu, itulah yang seadil-adilnya.
“Abang, Maaf ya…” Raisa mengangkat wajahnya. Menatapku dengan bulatan mata sayu, merasa bersalah.
“Hmm,, kau berbohong mungkin karena kau terpaksa dan bingung tidak tahu apa yang harus kamu lakukan. Meskipun itu sebenarnya tetap salah.” Aku menangkap kedua bola matanya. “Ya,ya, ya, aku bisa memahami, dan tentu saja aku memaafkanmu.” lanjutku cepat sebelum ia berpikir lain.
Suasana kembali hening. Gerimis di luar terlihat sendu. Membasahi apa saja yang ditimpanya. Membuat jendela kaca mengembun, bisa dibuat ukiran kebahagiaan atau bahkan kesedihan sebagai pelampiasan sesaat. Aku mendesis kuat. Membuang wajah ke luar jendela.
Raisa tertawa samar. “Inilah kebodohanku, bang. Harusnya aku menurut saja dengan perjodohan itu. Tapi, mungkin saja aku tak mampu menjadi istri yang baik karena aku memang tak mencintainya. Dan hanya materi saja yang melimpah di depan mataku, bukan hati kecil ini.” Senyumnya masih terdengar getir.
Aku berusaha membaca apa yang sebenarnya Ia inginkan. Dengan membuat cerita bohong, lewat pesan singkat, di ponselku, itu berarti ia menginginkanku terlibat dalam permasalahannya. Aku mengangguk, berusaha membuatnya tenang. “Apa kau pernah mendengar kisah Siti Nurbaya?” aku sedikit melirik buku di depannya. Raisa mengangguk.
“Siti Nurbaya dijodohkan karena orang tuanya tidak mampu membayar hutang. Dan Nurbayalah yang menjadi jaminannya, menikah dengan Datuk Maringgih yang sudah tua renta.” Raisa mendengarkanku, takzim.
“Dalam masalah ini, kau bukan Siti Nurbaya. Orang tuamu mungkin saja tidak berhutang dengan keluarga calon jodohmu, hanya saja orang tuamu tak ingin kau menyesal dikemudian hari. Hidup dengan laki-laki, maaf, yang belum jelas masa depannya. Emak tak ingin kisah Siti Nurbaya yang dijodohkan karena sebuah hutang menimpa anakmu kelak.” Aku berusaha menjelaskan penuh takzim.
Raisa menarik nafas kuat, lalu membuangnya perlahan.
“Sudah saatnya kau mengambil keputusan. Tidak baik kalau kau hanya mengulur-ulur waktu, sedangkan kau sendiri tak tahu rencana Topan selanjutnya. Apakah Topan akan terus berjuang? Atau hanya akan mengikuti arus yang entah dimana muaranya.” Aku menyandarkan punggung ke kursi, merilekskan badan sambil terus memandang Raisa yang setidaknya terlihat lebih baik.
Suasana berubah khitmad. Hanya terdengar desah nafasku dan juga Raisa.
Raisa melirik jam tangan, “Terima kasih bang, Raisa akan segera mengambil keputusan. Dan sekarang Raisa ada urusan, duluan ya...” sambil bangun dari duduknya.
“Ooh, ya,,” balasku pendek, mengangguk pelan. Ia mengelap kedua sudut mata yang sembab. Lalu pergi, kembali meninggalkanku dalam kesepian.
***
Satu minggu berlalu. Semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Termasuk diriku. Memburu waktu yang sebentar lagi menggilas perjuangan panjangku. Terlambat satu detik, semua akan sia-sia. Dan aku harus mengeluarkan biaya lagi untuk semester berikutnya.
Namun, tidak. Aku mampu menakhlukkan sang waktu. Satu minggu yang sangat berarti. Semua berjalan seperti yang diharapkan. “Selamat ya Say,” ucapan itu terus membanjiriku siang ini. Tepat setelah aku keluar dari ruang sidang. “Terima kasih kawan,” balasku tulus sambil melempar senyuman paling manis sebagai hadiah untuk mereka yang membantu selama ini.
 “Astaga! Sudah lama aku melupakan Raisa. Dimana dia sekarang?” Tiba-tiba aku teringat gelagat cantik setelah tiada senyuman khas yang terlihat di antara orang-orang yang mengkhadiri persidanganku. Aku segera meninggalkan kerumunan, mencari sosok Raisa.
“Jangan sampai ia memilih perasaannya, tetap teguh bersama Topan. Jangan pula ia menerima perjodohan itu, karena aku lebih baik diantara keduanya.” Gemingku selama menapaki jalan dan ruas-ruas gedung. Aku berlari, memasuki, menelisik setiap ruang perpustakaan. “Ooohh Tuhan! Lagi-lagi aku menjadi laki-laki bodoh untuk urusan hati. Kenapa dari awal aku tak memberinya solusi? Bedebah!” Umpatku kesal. Membanting kepalan tangan ke atas meja, dimana satu minggu yang lalu masih melihat senyum cantik itu di sini. Ya, di kursi ini. Bersama gerimis sendu yang menyatu.
“Ada yang bisa dibantu?”
Suara khas itu terdengar samar.
Aku menoleh ke sumber suara, “Raisa?” Mataku berkaca-kaca. Menatapnya begitu lama, lalu menggeleng tak percaya.
Raisa tertawa lebar. “Abang ini kenapa?” Raisa memanadangku mulai dari ujung kaki hingga kepala. Lalu meletakkan tubuhnya di kursi, sama persis seperti satu minggu yang lalu. Sedang aku masih berdiri mematung, melihatnya seperti siluman yang tiba-tiba muncul tanpa peduli apakah yang disapanya punya riwayat lemah jantung atau tidak. Raisa melihatku tanpa merasa bersalah.
“Aku? Aku takut kehilangamu.” Jawabku jujur. Masih mematung.
“Duduk dulu, bang…!” pintanya, berusaha menenangkanku. Ia menelangkupkan kedua tangannya di atas meja, tertib. Seperti anak-anak SD yang diajar guru paling killerdi sekolahnya.Duduk sedeku, tenang, karena takut.
Untuk sekian kali, aku bernafas lega. Lega sidangku telah usai, dan lega melihat gadis cantik itu kembali menatapku tajam. Aku mengatur nafas, “Aku bingung mencarimu, Rais.” Ucapku setelah merasa tenang.
Raisa tersenyum, “Raisa belum mengambil keputusan, seperti yang abang sarankan seminggu yang lalu.” Ia seolah-olah tahu apa yang aku rasakankan selama ini, dan terutama untuk detik ini.
“Kenapa?” aku memasang wajah terkejut.
“Abang  tau apa yang seharusnya abang lakukan untuk Raisa. Jadi, sebaiknya Raisa menunggu abang, bukan Topan, maupun jodoh siapa namanya Raisa belum tau.” jawabnya dengan ekspresi penuh harap.
 “Hmmm, Apa kau akan menerima keputusanku?”
“Ya, karena itu keputusan Rais juga.” Balasnya yakin.
Aku mengangguk, “Baiklah! Aku bukan Topan, bukan pula jodoh siapa itu, tapi aku Sayuti ingin melamarmu sebagai pendamping hidupku.” Kataku mantap sambil terus menatap kedua sudut mata Raisa yang teduh.Cukup lama aku memandangknya. Raisa hanya terdiam, terpaku.
Aku meraih tangannya, “Aku tak ingin kehilanganmu lagi, walaupun satu detik saja. Apa kau percaya dengan ucapanku?” terus saja memandangnya.
Raisa mengangguk diikuti senyum khas yang mengembang di bibir lembutnya. Lesung pipinya terlihat jelas, kalau Raisa benar-benar tersenyum karena bahagia. “Raisa menerima pinangan abang siang ini dan untuk selamanya.” Suara lembutnya seperti mata air yang bergemerik di sela-sela perbukitan, begitu damai. Dan deretan rak yang mematung di setiap sudut ruang, menjadi saksi bisu, kisah cintaku detik ini dan untuk selamanya. Bibirku menyentuh lembut kedua tangan Raisa. Ooh begitu manis.

***TAMAT***

Ikhah Yuyule
Boyolali, 16 Desember 2013