Rabu, 19 Juni 2013

Di Sebuah Ruang Terkutuk





Otot matanya merah tegang. Ambisiusnya untuk menghilangkan nyawa Kang Parmen yang diketahuinya telah menyebabkan kematian adiknya sudah tak terkendali. Rengekku tidak mampu meredamkan api dendam yang menyulut hati sampai akal pikiran. Dendam yang sudah bertahun-tahun mengendap, kini telah menyembul, membakar hati yang sebelumnya lembut dan penuh kasih sayang.
”Kau tidak tau betapa aku mencintai Nina, adikku?”, ungkap Tono sambil menatapku tajam. Jiwanya telah dikuasai setan. Langkah kakinya keluar masuk kamar untuk mencari sebilah golok.
”Tapi mas, itu hanya akan memperkeruh keadaan...”, ucapku berusaha menenangkan.
”Cuih! Persetan dengan keadaan!” ungkapnya dengan nada tinggi penuh nanar.
Otot-otot bola matanya seakan meloncat keluar, diikuti otot di kedua pelipisnya menegang seraya tangannya mengepal di genggaman, kuat.
Tubuhku gemetar di ruang tengah melihat Tono berlalu kemudian lenyap dari pandangan dengan membawa sebilah golok di tangan kanannya.
***
”Nina?”, sentakku kaget ketika sorot mata Nina terlihat dari celah pintu kamar.
Lalu dia berlari, menyembunyikan badannya yang kecil setelah aku membuka pintu untuk memastikan keberadaannya.
***
Malam ini, hatiku bergemuruh. Makhluk bernama iblis telah merasuki hingga akal ini terperosok ke jurang jahanam. ”Aku harus membunuh Tono sebelum anak dalam kandunganku ini kehilangan bapaknya!” gumamku pelan seraya mendengus panjang. Oh. Tidak! Tono adalah suamiku. Aku mencintainya. Tapi aku juga tidak mau orang yang telah memberiku keturunan ini mati. Kepalaku menggeleng kuat tak berdaya.
”Hasil dari lab dinyatakan suami anda tidak bisa memberi keturunan, mandul,” terang dokter Andrean itu selalu terngiang-ngiang hingga aku beranikan diri untuk berselingkuh dengan Parmen. Tukang ojek yang sering mangkal di pojok kampung dan kerap menjadi langgananku kalau motor satu-satunya di pakai Tono untuk kerja.
Aku terlalu menyayangi Tono, meskipun tujuh tahun pernikahan ini belum dikaruniai anak, sifatnya yang penyayang dan penuh kelembutan, selalu menepis suara hati untuk menceraikannya.
***
Peluh panas dingin mengucur deras di sekujur tubuh. Seluruh badanku tergagap, mendapati Tono membujur kaku penuh darah di sekujur perutnya. Tanganku berlumuran darah, begitu juga perut Tono yang terkoyak hingga terlihat lubang yang menganga.
”Tidak! Aku tidak membunuhnya! Aku sangat mencintainya!” teriakku histeris sambil menjauhi jasadnya. Tubuhku kelimpungan melihat jasat suami yang aku cintai telah terbujur kaku dan membatu.
***
”Aku sangat mencintainya... aku tak mau dia mati di tangan Parmen, seperti Nina adiknya” terangku dengan mulut gemetar diikuti air mata tumpah membanjiri. Sesekali mulutku tersengal-sengal, berusaha mengatur nafas yang tak tentu.
”... hingga aku harus membunuhnya dengan tanganku sendiri, Pak.....” lanjutku sambil menunduk, memejamkan mata.
Dari telinga, terdengar suara mesin ketik yang setiap hurufnya ditekan untuk menghasilkan sebuah kalimat atas pernyataan yang keluar dari mulutku. Mata ini terasa kelu tuk menatap apa yang di depan mata. Bayang-bayang tubuh Tono masih menjadi momok dan itu akan membuat tubuhku tersengal. Tangan ini mencabik-cabik daster yang aku kenakan, daster yang penuh lumuran darah Tono, daster yang menjadi saksi atas kebodohan atas pelampiasan setan bejat yang merasuki aliran kerja otakku.
”Ibu tenang dulu! ” tungkas laki-laki berseragam cokelat yang duduk di depanku.
***
”Aku tak mau anak ini mengetahui hubungan kita”. Terang Parmen setelah dengan susah payah menyeret tubuh anak kecil itu ke dasar sungai, untuk ditenggelamkan.
”Bagaimana kalau mas Tono tau, Nina mati bukan karena tenggelam?” mulutku gemetaran diikuti tubuh yang menggigil karena angin malam yang berhembus kencang.
”Itu tidak mungkin, karena anak ini suka sekali main di sungai ini...”, sangkalnya pelan diikuti desah nafas yang memburu. Lengan kanannya mengusap peluh yang sebentar lagi melewati relung mata.
Gelagat Parmen  mengendap-endap, menyusuri anak tangga menuju jurang sungai. Aku berdiri di atas bukit untuk memastikan keadaan malam itu benar-benar sunyi, aman, tanpa ada makhluk lain  yang mengetahui apa yang aku lakukan bersamanya di tengah malam, di tepi sungai, ujung perbukitan.
Kesunyian malam penuh kelam.
***
Sorot mata ini terlempar jauh, masing-masing tangan mencengkeram kuat teralai besi yang menutup rapat ruang terkutuk ini.
”Maafkan ibu sayang... semua ini bukan salahmu....” tanganku mengelus lembut perut yang sudah membuncit dengan penuh penyesalan.
”Ibu ingin, kelak kau menjadi anak yang baik. Tidak seperti ibumu yang nista ini...,” senyumku mengembang getir. Mengakhiri malam yang kian kelam, di sebuah ruang kebisuan yang  menjadi saksi bahwa hidup ini adalah pilihan. Karena aku memilih untuk melukai, lalu membunuh, dan lalu hidup di sebuah ruang kenistaan ini. Aku lalui hidup ini bersama sunyi, yang semakin mencekam bersama anak yang aku kandung di dalam sebuah ruang terkutuk. Betapa nistanya diriku, dalam ruangan terkutuk ini, dimana telah aku impikan tentang kebaikan jabang bayi. Tentang hidup yang harus hidup, meskipun jiwa ini sudah tidak hidup layaknya manusia hidup, karena aku telah membunuh laki-laki yang penuh dengan kasih sayang dan itu adalah suamiku. Lalu aku pejamkan mata pelan, sangat pelan, berharap ini semua hanya mimpi yang dapat aku kutuk lalu aku usir di sebuah ruang terkutuk.

Boyolali, 19 Juni 2013
*Tulisan ini pernah dapat nominator