Kamis, 20 Desember 2012

Hanya sebuah cerita

Genap satu tahun telah berproses di dunia kerja. Namun, entah rasanya belum benar-benar menikmati dunia kerja yang begitu menyita waktu dalam sehari. Kenapa? Ya karena setiap hari hanya duduk termenung, lalu memutar ke segala arah untuk memastikan kondisi di sekitar. Namun, lain lagi ceritanya jika harus diburu waktu yang begitu cepat. Seakan sang waktu akan menggilas sekujur tubuh yang kaku ini. Menoleh ke belakang pun jarang apalagi harus merenung menatap pemandangan luar jendela yang begitu menakjubkan dikala langit biru terhampar luas di langit. Kalau sudah begitu, rasanya umbun-umbun mau copot karena tercium bau “deadline”.
Beragam jenis lagu turut menemani setiap aktivitas di ruang kerja yang tidak begitu luas. Diam. Hening. Dan sesekali ada suara tawa yang pecah, begitulah kiranya setiap menjalani rutinitas ini. Bosen beribu ribu kata bosen kerap terucap dari mulut. Huah! Bener-bener kalau sudah bosen tingkat akut rasanya ingin lari ke jalan raya yang begitu ramai dengan lalu-lalang kendaraan bermotor. Itu gila!!! Hemm… tapi mungkin saja bisa menghilangkan rasa muak yang sudah “over dosis” ini.
Dari jendela, kerap digoda oleh sepasang merpati yang begitu asyik bercengkerama di atas atap salah satu rumah penduduk. Sayapnya mengembang. Mengepak begitu sempurna. Lalu hinggap bersama pasangannya. Senyum ini mengembang tulus melihat tingkahnya. Tuhan ciptakan makhluk untuk berpasang-pasangan. Saling melindungi dan saling  melengkapi, pikirku dalam hati. Dalam firman Allah menjelaskan bahwa:
“Dan dari tiap-tiap sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan.” ( Q.S Az-Zaariyaat : 49)
Yupz! Tiada yang luput dari jangkauan-Nya. Sekecil apapun itu, secara detail Tuhan telah menciptakan makhluknya dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dengan begitu Tuhan menginginkan “mereka” untuk saling melengkapai satu sama lain.
Hemm… pemandangan yang mengagumkan ketika sepasang merpati yang berbeda warna sayap itu saling bermadu kasih. Burung merpati itu menemani jemari ini menari-nari di atas keyboard. Langit biru disertai angit sepoi yang menggerakkan ranting-ranting pepohonan pun cukup memberi hiburan kala hati sedang gundah gulana di depan monitor. Hahhaaa. Terlalu melankolis.
… biarlah detik ini berdetak cepat meskipun menit berjalan lambat. Biarlah jarum jam bergulir teratur meskipun rasa setiap hati sering berubah. Dengan begitu kau tahu betapa hidup ini membutuhkan proses. Proses mengenal, menyukai, mencintai, membeci, menyebalkan, membosankan, menyedihkan, dan lain sebagainya. Rasa itu lah yang harus dilalui untuk menemukan tawa hangat bersama pasangan hidup.^^

Kamis, 06 Desember 2012

Sebuah Makna “Perjalanan Jauh”

 Tak ada agenda yang berarti, melainkan hanya duduk termenung. Sesekali melirik deretan buku yang entah sudah sejak kapan tak pernah menyentuhnya lagi. Hati pun mulai terpikat pada sebuah buku yang tak begitu tebal. Mata pun mulai melirik kutipan-kutipan dan akhirnya mulai bisa menyentuh rasa keingintahuan.
Dalam kutipan di jelaskan bahwa “Berpergianlah dan lakukan perjalanan yang jauh, karena dengan begitu kamu akan melihat tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan-KU (Allah Swt)”.
Buku jadul dengan harga murah, yang lama tak tersentuh bisa mengisi waktu malam minggu, pikirku dalam hati sambil komat-kamit mengikuti deretan huruf-huruf kecil yang tersusun begitu rapi.
Manusia adalah makhluk yang dikaruniai indera paling lengkap. Ada hati untuk merasa dan memahami, ada telinga untuk mendengar, ada mata untuk melihat, dan sebagainya. Indera inilah yang menjadi alat ukur kualitas hidup dan keselamatan setiap manusia. Semakin baik indera itu berfungsi, akan semakin baik pula kualitas hidup seseorang. Karena itu, setiap kita harus mengasah ketajaman dan sensitifitas indera tersebut, agar ia berfungsi dengan sempurna dalam memahami ayat-ayat Allah, dan agar ia (indera) tidak menjadi beban kita di hari kemudian (hari akhir). Sebab setiap indera itu akan ditintut pertanggungjawabannya, sebagaimana dalam Al-Qur’an, ”Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semua itu akan dimintai pertanggungjawannya.” (QS. Al Isra’:36).
Bepergian, atau melakukan perjalanan adalah cara kita untuk mengasah ketajaman indera itu. Karena didalam bepergian itulah kita akan menemukan banyak hal baru dalam kehidupan, ada peristiwa, ada fakta, ada tradisi, ada kultur, dan ada bagian bumi yang mungkin sangat berbeda dengan bagian bumi yang selama ini kita dialami. Semakin banyak kita bepergian, semakin banyak hal yang kita lihat, semakin membuka pula cakrawala kita, dan juga semakin kita memahami sesuatu. Untuk itulah Allah menyuruh kita bepergian, seperti yang Dia firmankan dalam Al-Qura’an, ”Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang ada di dalam dada.” (QS. Al Hajj: 46).
Penegasan hati pada ayat ini, tentu karena hatilah yang memiliki peran paling besar dalam tubuh kita. Hanya manusia yang bisa memfungsikan hatinya dengan sempurna, yang akan memiliki kearifan dalam hidupnya. Hati yang baik akan sanggup melihat dan merasakan setiap hal dengan cermat. Dan hati, akan memberikan sinyal positif kepada indera yang lain, untuk juga menghasilkan kepekaan yang baik terhadap sesuatu yang disentuhnya. Pikiran, pendengaran, dan penglihatan akan mengikuti langkah baik yang ditempuh oleh hati, dan selanjutnya berkolaborasi menciptakan manusia yang memiliki sensitifitas tinggi, terhadap sesuatu yang ditemuinya.
Kegagalan kita memfungsikan indera adalah kegagalan kita mengelola hidup. Dan kebanyakan orang-orang yang celaka di hari kemudian (hari akhir) adalah mereka yang gagal memfungsikan inderanya. Allah SWT berfirman di dalam Al-Qur’an tentang penduduk neraka, ”Dan sesungguhnya kami jadikan neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah) dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakan untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al A’raf:197).
Akan sangat mulia sekali, andai dengan penuh kesadaran kita bertanya kepada diri sendiri, khususnya kita yang sering lalai, apakah karunia indera yang telah diberikan Allah selama ini, telah dipergunakan sesuai yang telah diperintahkan-Nya? Atau justru sebaliknya, buta dan tuli dengan ayat-ayat Allah yang terbentang luas di muka bumi ini.
Kualitas kepribadian kita akan mengubah cara jalan-jalan kita menjadi sarana untuk mengasah ketajaman indera kita: perasaan, pendengaran, penglihatan dan sebagainya.

Lirik lagu musisi Indonesia turut mngiringi setiap kata yang terucap lirih. Bener-bener membuat hanyut dalam suasana, yang menurutku suasana tenang penuh dengan makna ”religi”.

Takkan selamanya, raga ini menjagamu...
...
Tak ada yang abadi... tak ada yang abadi. Tak ada yang abadi...
Biarkan aku bernafas sejenak, sebelum hilang.....
Takkan selamanya, tanganku mendekapmu, takkan selamanya, raga ini menjagamu....
Jiwa yang lama segera pergi....
....

Kembali ke pokok bahasan. Apa yang ditulis ini hanya sebagian kecil yang bisa disampaikan dari buku ”Bepergian dalam peta Al-Qur’an”. Semoga bermanfaat...^,^

Selasa, 17 April 2012

CERPEN: Tujuh Mawar Kebisuan



Senja kelabu menyelimuti langit kota Jogja. Langkahku semakin tergesa, menyusuri gang-gang di antara rumah-rumah tua ala Eropa, memburu matahari yang kian merapat ke peraduannya. Sore ini aku lupa membawa air minum untuk membasahi tenggorokan jikalau azan magrib berkumandang.
”Sssruuttttt...”, aku sedot es buah yang sempat ku beli di warung depan kantor, setelah sayup-sayup azan terdengar pelan. Tubuhku terhempas di lantai kost berukuran empat kali tiga, sebelum beranjak mengambil air wudhu dan mandi.
***
Rasa lelah menjalar keseluruh persendian. Tugas dari bos Jabrik untuk menyelesaikan layout majalah bahasa jawa menghantui benakku. Disela-sela lembur, suara kocak Rangga, penyiar radio Jogja FM menjadi teman setiap kesunyian malam menyerang. Sambil menggeser-geser mouse, sepasang bola mataku menatap ponsel di samping komputer dengan serius. Ingin rasanya jemariku berpindah, memencet huruf-demi huruf merangkai kata untuk Rangga. Menanyakan apakah kamu, Rangga, Abangku yang selama ini telah meninggalkanku? Mungkinkah Abang masih mengingatku? Tapi setelah perceraian itu, aku berniat tak mau mengusik dan merepotkamu lagi? Sederet tanda tanya berloncatan di kepala.
Ketika duduk di bangku SMP, ayah menikah dengan ibu Pasiyem, ibunya Rangga. Sedang Rangga sudah SMA di sebuah pondok pesantren di Solo. Akan tetapi belum ada dua tahun, pernikahan itu kandas setelah ibu Pasiyem memilih bekerja ke negeri seberang, dengan dalih gaji ayah yang hanya sebagai buruh pabrik tak cukup untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari. Abang. Sebutanku untuk Rangga membuat hubungan ini seperti saudara kandung. Meskipun dia jarang pulang dengan alasan tidur di asrama pondok, namun dia tak pernah lupa menanyakan keadaaan atau sekedar bertanya, sudah makan atau belum. Tubuhku yang kecil membuatnya khawatir kalau aku nanti tidak bisa tinggi, sepertinya. Dengan begitu dia tahu betul, apa yang aku suka, dan apa yang tidak aku suka.
Suara alarm jam duduk memecah lamunanku. Mataku mulai menciut, berusaha membelalakkan, menyelidik hasil layout. Suasana kamar menjadi hening, tak terdengar lagi cuap-cuap Rangga yang menggelitik. Rupanya sudah jam dua belas malam. Secara tiba-tiba benakku terbayang bos Jabrik dengan muka seram disertai otot-otot yang menegang, mata bulat melotot sambil berkacak pinggang, kalau saja majalah besok belum selesai, pasti bakal dicerca dan dibabat habis.
”Huuuuuhhhh..”, kepalaku menggeleng ngeri.
***
Pagi ini, langkahku sempoyongan menyusuri anak tangga menuju lantai dua. Kepala terasa berat, mata berkunang-kunang, semua bagian tubuh yang melekat terasa kaku untuk bergerak. Setelah menghadap bos Jabrik, menyerahkan hasil garapan, kepalaku tersungkur di atas meja komputer kantor.
”Yul. Ada kiriman bunga lagi untukmu!”, teriak Memey dari ambang pintu.
”Hemmm... taruh aja di meja”, sahutku tak menggubris. Kepala masih tiarap di atas meja.
”Kamu pakai mantra apa, penggemar rahasiamu bisa banyak seperti ini?”, selidik Memey cerewet.
Kebisuan menjawab pertanyaan Memey,  dan membuatnya enyah meninggalkanku. Tiga puluh menit, aku tertidur pulas tiada mimpi. Tumben tak ada yang mengusikku selama tidur, anak-anak kemana? Memey yang biasanya bawel juga tidak kelihatan batang hidungnya? Selidikku dalam hati sambil mengucek mata yang masih samar. Aku masih duduk termenung setengah sadar, menatap monitor yang masih menyala, lalu kepalaku memutar mengeliling, menyapu ruangan yang tak begitu besar. Sampai di titik pojok samping almari display terlihat tujuh tangkai mawar merah yang memenuhi gelas kaca, dan terdapat sedikit air di dalamnya. ”Siapa yang menaruh bunga di situ?”, gumamku terkejut.
Aku tak suka mawar, kenapa ada mawar di ruang kerjaku? Mungkinkah Memey atau Agus yang sengaja menaruhnya, agar aku menyukai mawar? Itu tidak mungkin, sebelumnya mereka tidak pernah mengatakan sesuatu? Kakiku melangkah menghampiri, berusaha menggapainya.
”Selamat pagi”, mataku mengernyit membaca tulisan yang menempel di setiap ganggang mawar.
”Eh. Sudah bangun?”, suara Memey yang cempreng menyentakkanku. Pundakku meloncat kaget.
”Tadi pagi ada yang ngirim bunga lagi untukmu”, sambil melangkah masuk, lalu bersandar di meja belakangku.
”Lagi?”, timpalku cepat sambil menoleh ke arahnya.
”Hu’um”, Mey mengangguk.
”Kamu tanyain dari siapa?”
Memey menggeleng cepat, seraya mengangkat kedua bahunya. ”Kirain kamu sudah tahu, makanya aku terima begitu saja. Lagian kan sudah tujuh hari ini”.
”Tujuh hari ini aku sibuk dikejar deadline. Apa yang aku kenakan, apa yang ada di ruang kerjaku, bahkan meskipun puasa, apa yang aku makan pun tidak aku hiraukan”.
Aku angkat gelas penuh bunga, lalu aku letakkan di atas meja, dimana Memey bersandar. Memey melihatku sambil menggeleng kepala.
”Kamu memang cewek aneh Yul!”, Mey mengibaskan tangan sambil berlalu melangkah keluar.
***
Selama tujuh hari ini, ada yang menyapaku lewat bunga. Mengucapkan selamat pagi. Kira-kira siapa yang mengirimnya? Aku hirup nafas panjang, menahannya beberapa menit lalu kuhempaskan pelan-pelan. Tubuhku terperosok di atas kasur yang tak empuk lagi. Sambil mendengarkan suara Fahmi, teman Rangga kala lagi On Air.
”Mas Rangga kemana, mas Fahmi?”, tanya Novel. Pendengar setia Jogja FM by phone.
”Mas Rangganya dapat beasiswa kuliah ke negeri Kanguru, Australia...”, terang Fahmi.
”Oh ya, buat para pendengar setia Jogja FM yang Fahmi sayangi...ini ada salam dan pesan dari Rangga buat cewek yang akrab dipanggil Yul, dengarkan semuanya.... Saya bacakan dengan seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya, ... meskipun kau tak menyukainya, biarlah selalu menghiasi...”.
Tubuhku kaku mendengar kalimat singkat itu. Terkejut dalam kebekuan. Mulutku menganga seraya menggeleng tak percaya. ”Aku menyayangimu lebih dari sekedar kakak, Bang...”, suaraku bergeming sambil berkaca-kaca. Bunga mawar merah tujuh tangkai, memang tak membuatku tersenyum senang, karena Abang tahu aku tidak menyukainya. Namun Abang tahu betapa aku menyukai angka tujuh. Karena perceraian itu kita berpisah, dan setelah kini kau hadir sejenak lalu pergi lagi meninggalkan tujuh tangkai bunga mawar dengan penuh kebisuan.