Kamis, 06 Desember 2012

Sebuah Makna “Perjalanan Jauh”

 Tak ada agenda yang berarti, melainkan hanya duduk termenung. Sesekali melirik deretan buku yang entah sudah sejak kapan tak pernah menyentuhnya lagi. Hati pun mulai terpikat pada sebuah buku yang tak begitu tebal. Mata pun mulai melirik kutipan-kutipan dan akhirnya mulai bisa menyentuh rasa keingintahuan.
Dalam kutipan di jelaskan bahwa “Berpergianlah dan lakukan perjalanan yang jauh, karena dengan begitu kamu akan melihat tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan-KU (Allah Swt)”.
Buku jadul dengan harga murah, yang lama tak tersentuh bisa mengisi waktu malam minggu, pikirku dalam hati sambil komat-kamit mengikuti deretan huruf-huruf kecil yang tersusun begitu rapi.
Manusia adalah makhluk yang dikaruniai indera paling lengkap. Ada hati untuk merasa dan memahami, ada telinga untuk mendengar, ada mata untuk melihat, dan sebagainya. Indera inilah yang menjadi alat ukur kualitas hidup dan keselamatan setiap manusia. Semakin baik indera itu berfungsi, akan semakin baik pula kualitas hidup seseorang. Karena itu, setiap kita harus mengasah ketajaman dan sensitifitas indera tersebut, agar ia berfungsi dengan sempurna dalam memahami ayat-ayat Allah, dan agar ia (indera) tidak menjadi beban kita di hari kemudian (hari akhir). Sebab setiap indera itu akan ditintut pertanggungjawabannya, sebagaimana dalam Al-Qur’an, ”Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semua itu akan dimintai pertanggungjawannya.” (QS. Al Isra’:36).
Bepergian, atau melakukan perjalanan adalah cara kita untuk mengasah ketajaman indera itu. Karena didalam bepergian itulah kita akan menemukan banyak hal baru dalam kehidupan, ada peristiwa, ada fakta, ada tradisi, ada kultur, dan ada bagian bumi yang mungkin sangat berbeda dengan bagian bumi yang selama ini kita dialami. Semakin banyak kita bepergian, semakin banyak hal yang kita lihat, semakin membuka pula cakrawala kita, dan juga semakin kita memahami sesuatu. Untuk itulah Allah menyuruh kita bepergian, seperti yang Dia firmankan dalam Al-Qura’an, ”Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang ada di dalam dada.” (QS. Al Hajj: 46).
Penegasan hati pada ayat ini, tentu karena hatilah yang memiliki peran paling besar dalam tubuh kita. Hanya manusia yang bisa memfungsikan hatinya dengan sempurna, yang akan memiliki kearifan dalam hidupnya. Hati yang baik akan sanggup melihat dan merasakan setiap hal dengan cermat. Dan hati, akan memberikan sinyal positif kepada indera yang lain, untuk juga menghasilkan kepekaan yang baik terhadap sesuatu yang disentuhnya. Pikiran, pendengaran, dan penglihatan akan mengikuti langkah baik yang ditempuh oleh hati, dan selanjutnya berkolaborasi menciptakan manusia yang memiliki sensitifitas tinggi, terhadap sesuatu yang ditemuinya.
Kegagalan kita memfungsikan indera adalah kegagalan kita mengelola hidup. Dan kebanyakan orang-orang yang celaka di hari kemudian (hari akhir) adalah mereka yang gagal memfungsikan inderanya. Allah SWT berfirman di dalam Al-Qur’an tentang penduduk neraka, ”Dan sesungguhnya kami jadikan neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah) dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakan untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al A’raf:197).
Akan sangat mulia sekali, andai dengan penuh kesadaran kita bertanya kepada diri sendiri, khususnya kita yang sering lalai, apakah karunia indera yang telah diberikan Allah selama ini, telah dipergunakan sesuai yang telah diperintahkan-Nya? Atau justru sebaliknya, buta dan tuli dengan ayat-ayat Allah yang terbentang luas di muka bumi ini.
Kualitas kepribadian kita akan mengubah cara jalan-jalan kita menjadi sarana untuk mengasah ketajaman indera kita: perasaan, pendengaran, penglihatan dan sebagainya.

Lirik lagu musisi Indonesia turut mngiringi setiap kata yang terucap lirih. Bener-bener membuat hanyut dalam suasana, yang menurutku suasana tenang penuh dengan makna ”religi”.

Takkan selamanya, raga ini menjagamu...
...
Tak ada yang abadi... tak ada yang abadi. Tak ada yang abadi...
Biarkan aku bernafas sejenak, sebelum hilang.....
Takkan selamanya, tanganku mendekapmu, takkan selamanya, raga ini menjagamu....
Jiwa yang lama segera pergi....
....

Kembali ke pokok bahasan. Apa yang ditulis ini hanya sebagian kecil yang bisa disampaikan dari buku ”Bepergian dalam peta Al-Qur’an”. Semoga bermanfaat...^,^

Tidak ada komentar: