Rabu, 17 Juli 2013

KERAMAT

     

Hujan deras semalam membuat beberapa pohon yang berada di pinggiran makam roboh.  Tanah merah yang berada di area makam tak mampu menahan bobot pohon yang menjulang tinggi dan rimbun itu. Akar tunggangnya terlihat menganga, keluar dari persembunyiannya, seperti akar-akar monster yang sering terlihat di film-film fiksi.
            “Pakdhe, mbok pohon phon di pinggir makam itu ditebang saja, lumayan bisa buat pemasukan kas desa,” cetus Nandar kepada pakdhenya yang sekaligus menjadi ketua RT desa Kramatrejo.
            “Hush!!! Pohon-pohon tua itu peninggalan simbah Kramat, ora oleh ditebang apalagi dijual!”. Kumis tebalnya menegang. Begitu juga bola matanya membulat penuh.
Makam yang berada di pojok desa Kramatjati itu jarang dijamah orang. Kecuali kalau ada salah satu warga yang meninggal, makam itu baru ada yang memasuki. Tidak seperti makam-makam di desa lain yang terlihat ramai oleh sekawanan bocah yang bermain-main di atas kijing sambil mencari kembang kamboja untuk dijual, menambah pundi-pundi uang jajannya.
            Di tengah makam itu ada gundukan tanah yang tinggi. Oleh penduduk setempat disebutnya kuburane mbah Kramat. Jika panenan penduduk bagus dan melimpah, kuburan mbah Kramat itu akan terlihat tinggi, mencapai dua meteran. Namun, ketika hasil panenan jelek, kuburan itu terlihat rendah seperti kuburan yang lain.
            Pagi ini para pemuda bersiap-siap ingin menebang pohon tua yang roboh itu.  Tapi tiba-tiba di tengah perjalanan menuju makam dihalangi oleh bapak-bapak termasuk pakdhe Marno.
            “Pakdhe, pohone ditebang aja… ben kethok padang!!!” kata Rizal, ketua karang taruna yang tengah siap membawa gergaji dan sabit di kedua tangannya.
            Weh. Ojo!!! biarin gitu aja, lagian juga nggak mengganggu kalian to?”
            “Aaahh… Pakdhe ini kuno! Sekarang sudah zamannya teknologi canggih, masak masih percaya dengan hal gituan?” timpal Nandar berusaha membela Rizal.
            Kowe ki ngertimu opo!? Apa kalian mau desa kita mendapat musibah dan malapetaka?” Pakdhe Marno tak mau kalah. Wajahnya semakin garang.
            Rombongan Rizal sedikit mulai goyah. Antara percaya dengan omongan pakdhe Marno atau ceramah pak kyai di masjid-masjid. Seraut wajah Rizal Cs tampak ragu. Mereka hanya saling pandang, lalu menunduk, untuk berpikir.
            Tole-tole. Kalian harus tahu kalau selain kita yang hidup di dunia ini, juga ada makhluk lain yang hidup di alamnya,” terang Pakdhe Marno berusaha membujuk, “alam tak kasatmata.” Imbuhnya menjelaskan sambil menoleh ke arah makam tua.
            Rizal terdiam, sedikit menunduk, melihat telapak kaki pakdhe Marno yang berdiri dua meter darinya. Terlihat dua pasang kaki dengan alas sandal yang sudah usang menginjak tanah basah karena terguyur hujan semalam. Bagus, Ipung, Aji, Asep, dan juga Nandar hanya diam. Mereka tampak bingung, sesekali saling memandang satu sama lain.
Dan di siang itu, dua kubu, Rizal Cs dan Pakdhe Narno Cs saling beradu argumen. Pola pikir mereka saling berlawanan. Seperti partai oposisi yang saling ingin menang sendiri. Meskipun pengalaman yang tua lebih banyak, tapi bukan berarti yang muda tidak punya kemampuan untuk mengatasi masalah ini. Dan masalah ini hanyalah masalah sepele, hanya soal pohon roboh di pemakaman.
            “Pakdhe, pohonnya kan roboh karena angin, jadi kita nggak salah kalau harus menebangnya!?” suara Nandar terdengar, memecahkan sesunyian siang itu. Rizal terperangah setelah beberapa menit terdiam. Rizal menoleh ke arah Nandar sambil mengangguk-angguk.
            “Iya, Pakdhe, iya,” sahut Rizal Cs serempak.
            “Untuk alasan apa pun, pohon itu nggak boleh ditebang!!!” gertaknya keras, hingga buih liur terlihat di kedua ujung bibirnya yang cokelat.
            Setelah tak ada yang mau mengalah, akhirnya hari kembali hujan. Titik-titik gerimis mulai terasa di kulit, dan angin kencang pun datang lagi seakan ingin menerjang pepohonan di sekitar makam tua itu. Tanpa meninggalkan sepatahkata pun, rombongan Rizal Cs meninggalkan pakdhe Narno dan yang lainnya.
            “Sebaiknya besok kita bawa kyai, Zal. Biar pakdhe ku sadar kalau percaya kaya gituan itu namanya musyrik…” usul Nandar di sela-sela perjalanan pulang.
            “Kita nggak usah bawa-bawa agama bro, cukup dengan meyakinkan warga kalau itu dapat mengganggu lingkungan…” balas Rizal sambil terus melangkah.
            “Wah, betul apa kata Rizal. Pohon segedhe itu bahaya kalau nanti kena angin dan menimpa warga yang lewat.” Timpal Ipung sambil menoleh ke arah Nandar, kemudian Rizal.
            “Tapi gimana mas bro, pakdhe Narno kolot gitu!?” tanya Asep dengan ekspresi bingung.
            Mereka tiba-tiba menghentikan langkah kakinya. Saling berpandangan satu sama lain.
            “Hmm… sebelum pohon yang satunya roboh, kita harus menebangnya terlebih dulu.” Kata Rizal sambil memandang temannya satu persatu, “kita yakinkan warga kalau cuaca lagi ekstrim. Dan kita harus cari data dari BMKG dulu, gimana bro?” sambungnya menjelaskan.
            “Wah ide cemerlang itu Zal. Kita harus bertindak cepat, lihat saja setiap hari langit terlihat hitam kelam gitu.” Kata Nandar menyetujui ide Rizal, sambil menepuk bahu kanannya.
            Rizal Cs mengangguk mantap seraya mengembangkan bibirnya. Dan semua kembali menapaki jalan di pinggir sawah, memasuki desa Kramatrejo.
***
            “Pakdhe, sebenarnya asal-usul desa Kramatrejo itu gimana to?” suara Nandar memecahkan kesunyian malam. Ia menikmati malam bersama pakdhe Narno dan Lek Sugeng di emperan.
            “Detailnya aku juga kurang tahu, tapi simbah dulu pernah cerita kalau nama Kramatrejo diambil dari makam mbah Kramat yang di tengah sarean itu,” jawab Pakdhe Narno sambil memlintir-mlintir rokoknya sebelum dibakar, lalu dihisapnya.
            Nandar mengangguk, “apa ada hubungannya dengan pohon beringin itu?”
            Pakdhe Narmo mengehembuskan nafas kuat. Terlihat kepulan asap keluar dari mulut dan hidungnya. “Pohon beringin itu hanya sebagai tanda kalau makam itu memang keramat dan perlu dihormati selayaknya presiden.” Ujarnya menjelaskan.
            “Walah Pakdhe, Pakdhe, masak makam disamakan dengan presiden? Hmm.. coba pakdhe lihat berita-berita di TV, Presiden pada dikata-katain,.. bahkan ada juga yang menyamakannya dengan binatang ternak, kebo.” Papar Nandar sambil tertawa sinis.
            “Itu karena mereka yang mengatain itu nggak punya etika dan sopan santun!”        “Negara kita kan negara demokratis pakdhe, jadi itu hal yang wajar saja ….”
            “Gimana ya, manusia sekarang ini sungguh aneh. Aku sendiri juga bingung ko Le, sebaiknya kita percaya dengan makhluk halus atau percaya dengan pemimpin yang jelas-jelas terlihat dasinya gembandul di leher.” Akhirnya Lek Sugeng urun bicara.
            “Walah Lek, Lek, kita memang harus percaya sama makluk halus. Jelas-jelas kita percaya sama Tuhan yang Maha Kuasa,” balas Nandar, “…dan kita juga harus percaya dengan pemimpin yang bijaksana, mementingkan rakyatnya ketimbang golongannya.” Sambungnya bijak.
            “Ngomongin apa kalian? itu urusan mereka yang di atas. Kita rakyat kecil cukup menjalani hidup dengan baik.” Sahut pakdhe Narno, nimbrung.
            “Jadi intinya, pohon itu nggak ada hubungannya dengan makam mbah Kramat ya pakdhe?” sela Nandar cepat.
            “Nggak ada sih Le,” jawab Pakdhe Narno ragu, “apa kalian bener-bener mau menebangnya?”
            Nandar memandang pakdhe Narno serius, “Iya pakdhe.”
            “Kalian tak khawatir jika desa kita terkena musibah?”
            Nandar menggeleng, “Musibah itu pemberian yang Kuasa, pakdhe.”
            Di kesunyian malam itu angin berhembus pelan, menyapu jaket dan rambut Nandar, Pakdhe Narno, dan Lek Sugeng. Asal-muasal desa Kramatrejo memang sangat keramat. Bahkan secara detail, nama desa itu masih menjadi misterius. Siapa sosok mbah Kramat, tidak ada yang tahu. Mereka bertiga hanya saling pandang.
            Suasana kembali hening. Keraguan mulai menyerang batin mereka, dan hingga malam bertambah larut, mereka tetap terdiam sambil menikmati bau tembakau yang berhembus lewat mulut dan hidung, lalu tersapu liukan angina malam.
            “Pakdhe, aku yakin pohon itu nggak ada sangkut pautnya dengan makam yang berada di tengah kuburan. Jangan dicampur adukan, mana yang sebaiknya dan seharusnya disingkirkan… toh, kita nggak akan ngapa-ngapain makamnya kok.” Kata Nandar memberondong, memecahkan keheningan setelah beberapa menit terbius sepi.
            Pakdhe Narno dan Lek Sugeng saling memandang.
            “Bukankah begitu, Lek?”
            “Heh?” jawab Lek Sugeng gagap, “Oh iya, betul apa kata Nandar, pakdhe.”
            Pakdhe Narno hanya diam, menatap wajah Nandar lekat, kemudian ganti wajah Lek Sugeng. Setelah beberapa menit, ia pergi tanpa meninggalkan sepatah kata. Nandar dan Lek Sugeng hanya saling memandang, melongo, tak mengerti apa yang pakdhe Narno pikirkan.
***
Paginya, rombongan Rizal Cs kembali berbondong-bondong menyusuri jalan kampung menuju makam. Dari arah berlawanan, pakdhe Narno terlihat seius ingin menghadang niat Rizal Cs.
“Tunggu sebentar!!!”
“Ada apa lagi Pakde? Tekat kami sudah bulat!”
“Begini Zal, pohon ini banyak dijadikan tempat mata pencaharian penduduk…”
“Maksud pakdhe apa? Bukankah mata pencaharian warga kampung Kramatrejo ini petani?”
“Iya, tapi tak sedikit yang meminta petuah dari pohon besar ini!”
“Ah! Itu hanya alibi pakdhe saja.” Sahut Ipung geram.
“Kalian lihat di bawah pohon itu setiap hari jum’at selalu ada kembang setaman.”
“Begini ya, pakdhe… bukan maksud kami untuk memutus mata pencaharian mereka. Kami cuma sebagai pemuda tidak mau kalau kampung kami terlihat singup dan keramat.” ujar Rizal sabar.
Wee, pakdhe apa juga ikut-ikutan?” timpal Nandar.
“Kalaupun itu menguntungkan kenapa enggak, le…?”
“Hah! Payah!!!” umpat Nandar keras.
“Hmm ya udah,.. terserah kalian mau nebang pohon itu… tapi yang jelas, warga tidak akan menghilangkan tradisi itu.”
Kekolotan pakdhe Narno akhirnya menciut. Pohon tua itu segera ditebang dengan gergaji mesin yang diperoleh Rizal dari kawannya yang kuliah di teknik mesin. Dan makam tua itu, kini terlihat lebih padang, lebih hidup dan enak dipandang mata.
***
Jika langit yang biasanya murka, malam ini desa Kramatrejo terlihat tampak tenang. Bau nyiur, menyan, dan kembang setaman yang biasa memenuhi molekul udara, kini tak tercium lagi. Warga masih bisa memanen padinya, dan bocah-bocah tak lagi takut dengan sosok makhluk keramat yang hanya sebuah ilusi. Dan untuk pemuda, mereka bisa menikmati malam minggunya dengan memainkan gitar. Menyanyikan lagu-lagu karya pengamen jalanan, atau bahkan karya presiden yang tak mau kalah dengan musisi terkenal.
Sekarang desa Kramatrejo semakin tampak mamur. Tak  ada musibah ataupun malapetaka. Hasil panen yang melimpah, dapat beraktivitas di malam hari tanpa ada ketakutan, menjadikan warga semakin percaya bahwa hal yang tak logis itu akan membuatnya semakin terhimpit dan tak mampu berkembang layaknya teknologi seperti sekarang ini. Tamat
***

Boyolali,  April 2013