Hujan
deras semalam membuat beberapa pohon yang berada di pinggiran makam roboh. Tanah merah yang berada di area makam tak
mampu menahan bobot pohon yang menjulang tinggi dan rimbun itu. Akar
tunggangnya terlihat menganga, keluar dari persembunyiannya, seperti akar-akar
monster yang sering terlihat di film-film fiksi.
“Pakdhe, mbok pohon phon di pinggir makam itu ditebang saja, lumayan bisa
buat pemasukan kas desa,” cetus Nandar kepada pakdhenya yang sekaligus menjadi
ketua RT desa Kramatrejo.
“Hush!!! Pohon-pohon tua itu
peninggalan simbah Kramat, ora oleh ditebang
apalagi dijual!”. Kumis tebalnya menegang. Begitu juga bola matanya membulat
penuh.
Makam
yang berada di pojok desa Kramatjati itu jarang dijamah orang. Kecuali kalau
ada salah satu warga yang meninggal, makam itu baru ada yang memasuki. Tidak seperti makam-makam
di desa lain yang terlihat ramai oleh sekawanan bocah yang bermain-main di atas
kijing sambil mencari kembang kamboja untuk dijual, menambah pundi-pundi uang
jajannya.
Di tengah makam itu ada gundukan
tanah yang tinggi. Oleh penduduk setempat disebutnya kuburane mbah Kramat. Jika panenan penduduk bagus dan melimpah,
kuburan mbah Kramat itu akan terlihat tinggi, mencapai dua meteran. Namun,
ketika hasil panenan jelek, kuburan itu terlihat rendah seperti kuburan yang
lain.
Pagi ini para pemuda bersiap-siap
ingin menebang pohon tua yang roboh itu.
Tapi tiba-tiba di tengah perjalanan menuju makam dihalangi oleh
bapak-bapak termasuk pakdhe Marno.
“Pakdhe, pohone ditebang aja… ben
kethok padang!!!” kata Rizal,
ketua karang taruna yang tengah siap membawa gergaji dan sabit di kedua
tangannya.
“Weh.
Ojo!!! biarin gitu aja, lagian juga
nggak mengganggu kalian to?”
“Aaahh… Pakdhe ini kuno! Sekarang sudah
zamannya teknologi canggih, masak masih percaya dengan hal gituan?” timpal
Nandar berusaha membela Rizal.
“Kowe
ki ngertimu opo!? Apa kalian mau desa kita mendapat musibah dan
malapetaka?” Pakdhe Marno tak mau kalah. Wajahnya semakin garang.
Rombongan Rizal sedikit mulai goyah.
Antara percaya dengan omongan pakdhe Marno atau ceramah pak kyai di
masjid-masjid. Seraut wajah Rizal Cs tampak ragu. Mereka hanya saling pandang,
lalu menunduk, untuk berpikir.
“Tole-tole.
Kalian harus tahu kalau selain kita yang hidup di dunia ini, juga ada makhluk
lain yang hidup di alamnya,” terang Pakdhe Marno berusaha membujuk, “alam tak
kasatmata.” Imbuhnya menjelaskan sambil menoleh ke arah makam tua.
Rizal terdiam, sedikit menunduk, melihat
telapak kaki pakdhe Marno yang berdiri dua meter darinya. Terlihat dua pasang
kaki dengan alas sandal yang sudah usang menginjak tanah basah karena terguyur
hujan semalam. Bagus, Ipung, Aji, Asep, dan juga Nandar hanya diam. Mereka tampak
bingung, sesekali saling memandang satu sama lain.
Dan
di siang itu, dua kubu, Rizal Cs dan Pakdhe Narno Cs saling beradu argumen.
Pola pikir mereka saling berlawanan. Seperti partai oposisi yang saling ingin
menang sendiri. Meskipun pengalaman yang tua lebih banyak, tapi bukan berarti
yang muda tidak punya kemampuan untuk mengatasi masalah ini. Dan masalah ini
hanyalah masalah sepele, hanya soal pohon roboh di pemakaman.
“Pakdhe, pohonnya kan roboh karena angin,
jadi kita nggak salah kalau harus
menebangnya!?” suara Nandar terdengar, memecahkan sesunyian siang itu. Rizal
terperangah setelah beberapa menit terdiam. Rizal menoleh ke arah Nandar sambil
mengangguk-angguk.
“Iya, Pakdhe, iya,” sahut Rizal Cs serempak.
“Untuk alasan apa pun, pohon itu
nggak boleh ditebang!!!” gertaknya keras, hingga buih liur terlihat di kedua
ujung bibirnya yang cokelat.
Setelah tak ada yang mau mengalah,
akhirnya hari kembali hujan. Titik-titik gerimis mulai terasa di kulit, dan angin
kencang pun datang lagi seakan ingin menerjang pepohonan di sekitar makam tua
itu. Tanpa meninggalkan sepatahkata pun, rombongan Rizal Cs meninggalkan pakdhe
Narno dan yang lainnya.
“Sebaiknya besok kita bawa kyai,
Zal. Biar pakdhe ku sadar kalau percaya kaya gituan itu namanya musyrik…” usul
Nandar di sela-sela perjalanan pulang.
“Kita nggak usah bawa-bawa agama bro, cukup dengan meyakinkan warga kalau
itu dapat mengganggu lingkungan…” balas Rizal sambil terus melangkah.
“Wah, betul apa kata Rizal. Pohon segedhe
itu bahaya kalau nanti kena angin dan menimpa warga yang lewat.” Timpal
Ipung sambil menoleh ke arah Nandar, kemudian Rizal.
“Tapi gimana mas bro, pakdhe Narno kolot gitu!?” tanya
Asep dengan ekspresi bingung.
Mereka tiba-tiba menghentikan
langkah kakinya. Saling berpandangan satu sama lain.
“Hmm… sebelum pohon yang satunya
roboh, kita harus menebangnya terlebih dulu.” Kata Rizal sambil memandang
temannya satu persatu, “kita yakinkan warga kalau cuaca lagi ekstrim. Dan kita
harus cari data dari BMKG dulu, gimana bro?”
sambungnya menjelaskan.
“Wah ide cemerlang itu Zal. Kita
harus bertindak cepat, lihat saja setiap hari langit terlihat hitam kelam gitu.”
Kata Nandar menyetujui ide Rizal, sambil menepuk bahu kanannya.
Rizal Cs mengangguk mantap seraya
mengembangkan bibirnya. Dan semua kembali menapaki jalan di pinggir sawah,
memasuki desa Kramatrejo.
***
“Pakdhe, sebenarnya asal-usul desa
Kramatrejo itu gimana to?” suara
Nandar memecahkan kesunyian malam. Ia menikmati malam bersama pakdhe Narno dan
Lek Sugeng di emperan.
“Detailnya aku juga kurang tahu,
tapi simbah dulu pernah cerita kalau nama Kramatrejo diambil dari makam mbah
Kramat yang di tengah sarean itu,”
jawab Pakdhe Narno sambil memlintir-mlintir rokoknya sebelum dibakar, lalu
dihisapnya.
Nandar mengangguk, “apa ada
hubungannya dengan pohon beringin itu?”
Pakdhe
Narmo mengehembuskan nafas kuat. Terlihat kepulan asap keluar dari mulut dan
hidungnya. “Pohon beringin itu hanya sebagai tanda kalau makam itu memang
keramat dan perlu dihormati selayaknya presiden.” Ujarnya menjelaskan.
“Walah Pakdhe, Pakdhe, masak makam
disamakan dengan presiden? Hmm.. coba pakdhe lihat berita-berita di TV, Presiden
pada dikata-katain,.. bahkan ada juga yang menyamakannya dengan binatang
ternak, kebo.” Papar Nandar sambil tertawa sinis.
“Itu karena mereka yang mengatain
itu nggak punya etika dan sopan santun!” “Negara
kita kan negara demokratis pakdhe, jadi itu hal yang wajar saja ….”
“Gimana ya, manusia sekarang ini sungguh
aneh. Aku sendiri juga bingung ko Le,
sebaiknya kita percaya dengan makhluk halus atau percaya dengan pemimpin yang
jelas-jelas terlihat dasinya gembandul di
leher.” Akhirnya Lek Sugeng urun bicara.
“Walah Lek, Lek, kita memang harus
percaya sama makluk halus. Jelas-jelas kita percaya sama Tuhan yang Maha
Kuasa,” balas Nandar, “…dan kita juga harus percaya dengan pemimpin yang
bijaksana, mementingkan rakyatnya ketimbang golongannya.” Sambungnya bijak.
“Ngomongin apa kalian? itu urusan
mereka yang di atas. Kita rakyat kecil cukup menjalani hidup dengan baik.” Sahut
pakdhe Narno, nimbrung.
“Jadi intinya, pohon itu nggak ada
hubungannya dengan makam mbah Kramat ya pakdhe?” sela Nandar cepat.
“Nggak ada sih Le,” jawab Pakdhe
Narno ragu, “apa kalian bener-bener mau menebangnya?”
Nandar memandang pakdhe Narno serius,
“Iya pakdhe.”
“Kalian tak khawatir jika desa kita
terkena musibah?”
Nandar menggeleng, “Musibah itu
pemberian yang Kuasa, pakdhe.”
Di kesunyian malam itu angin
berhembus pelan, menyapu jaket dan rambut Nandar, Pakdhe Narno, dan Lek Sugeng.
Asal-muasal desa Kramatrejo memang sangat keramat. Bahkan secara detail, nama
desa itu masih menjadi misterius. Siapa sosok mbah Kramat, tidak ada yang tahu.
Mereka bertiga hanya saling pandang.
Suasana kembali hening. Keraguan
mulai menyerang batin mereka, dan hingga malam bertambah larut, mereka tetap
terdiam sambil menikmati bau tembakau yang berhembus lewat mulut dan hidung,
lalu tersapu liukan angina malam.
“Pakdhe, aku yakin pohon itu nggak
ada sangkut pautnya dengan makam yang berada di tengah kuburan. Jangan dicampur
adukan, mana yang sebaiknya dan seharusnya disingkirkan… toh, kita nggak akan
ngapa-ngapain makamnya kok.” Kata Nandar memberondong, memecahkan keheningan
setelah beberapa menit terbius sepi.
Pakdhe Narno dan Lek Sugeng saling
memandang.
“Bukankah begitu, Lek?”
“Heh?” jawab Lek Sugeng gagap, “Oh
iya, betul apa kata Nandar, pakdhe.”
Pakdhe Narno hanya diam, menatap
wajah Nandar lekat, kemudian ganti wajah Lek Sugeng. Setelah beberapa menit, ia
pergi tanpa meninggalkan sepatah kata. Nandar dan Lek Sugeng hanya saling
memandang, melongo, tak mengerti apa
yang pakdhe Narno pikirkan.
***
Paginya,
rombongan Rizal Cs kembali berbondong-bondong menyusuri jalan kampung menuju
makam. Dari arah berlawanan, pakdhe Narno terlihat seius ingin menghadang niat
Rizal Cs.
“Tunggu
sebentar!!!”
“Ada
apa lagi Pakde? Tekat kami sudah bulat!”
“Begini
Zal, pohon ini banyak dijadikan tempat mata pencaharian penduduk…”
“Maksud
pakdhe apa? Bukankah mata pencaharian warga kampung Kramatrejo ini petani?”
“Iya,
tapi tak sedikit yang meminta petuah dari pohon besar ini!”
“Ah!
Itu hanya alibi pakdhe saja.” Sahut Ipung geram.
“Kalian
lihat di bawah pohon itu setiap hari jum’at selalu ada kembang setaman.”
“Begini
ya, pakdhe… bukan maksud kami untuk memutus mata pencaharian mereka. Kami cuma
sebagai pemuda tidak mau kalau kampung kami terlihat singup dan keramat.” ujar
Rizal sabar.
“Wee, pakdhe apa juga ikut-ikutan?”
timpal Nandar.
“Kalaupun
itu menguntungkan kenapa enggak, le…?”
“Hah!
Payah!!!” umpat Nandar keras.
“Hmm
ya udah,.. terserah kalian mau nebang pohon itu… tapi yang jelas, warga tidak
akan menghilangkan tradisi itu.”
Kekolotan
pakdhe Narno akhirnya menciut. Pohon tua itu segera ditebang dengan gergaji
mesin yang diperoleh Rizal dari kawannya yang kuliah di teknik mesin. Dan makam
tua itu, kini terlihat lebih padang,
lebih hidup dan enak dipandang mata.
***
Jika
langit yang biasanya murka, malam ini desa Kramatrejo terlihat tampak tenang.
Bau nyiur, menyan, dan kembang setaman yang biasa memenuhi molekul udara, kini
tak tercium lagi. Warga masih bisa memanen padinya, dan bocah-bocah tak lagi
takut dengan sosok makhluk keramat yang hanya sebuah ilusi. Dan untuk pemuda,
mereka bisa menikmati malam minggunya dengan memainkan gitar. Menyanyikan
lagu-lagu karya pengamen jalanan, atau bahkan karya presiden yang tak mau kalah
dengan musisi terkenal.
Sekarang
desa Kramatrejo semakin tampak mamur. Tak
ada musibah ataupun malapetaka. Hasil panen yang melimpah, dapat
beraktivitas di malam hari tanpa ada ketakutan, menjadikan warga semakin
percaya bahwa hal yang tak logis itu akan membuatnya semakin terhimpit dan tak
mampu berkembang layaknya teknologi seperti sekarang ini. Tamat
***
Boyolali, April 2013