Senin, 28 Oktober 2013

No-Litle





Bau khas ramuan pengawet benda-benda antik tercium mesra sejak aku melangkah masuk ke salah satu museum yang ada di pusat ibukota, Jakarta. Aku terus melangkah, melewati beberapa ruang karena tak sabar ingin tahu replika pemuda-pemuda hebat masa dulu yang berada di ruang belakang. Patung berbentuk kepalan tangan berwarna hitam kelam tiba-tiba menyambutku. Aku dibuatnya terhenyak. Ia terlihat kokoh. Seakan ia berteriak, MERDEKA! Teriakan itu terdengar jelas di kedua gendang telinga. Menembus kain jilbab biruku. Amat jelas. Aku membalasnya dengan senyuman bangga. Lalu aku kembali melangkah. Mendekati patung-patung pemuda superhero yang di batasi oleh pagar besi sebagai pembatas. Jiwa para pemuda masa itu terekam jelas di patung replika itu. Sungguh jelas! Tanganku menyentuh lembut pipi Sang Maestro, W.R. Supratman. Tak ketinggalan biola antik yang selalu diapit antara pundak dan dagunya. Sang Maestro itu terlihat manis sekali. Kacamata yang tak pernah lepas dari mata teduhnya memberi kesan kalau dia benar-benar manusia cerdas. Aku tersenyum ramah kepadanya, lalu kepada para tokoh yang duduk di sebelahnya.
        “Terima kasih,” kataku pelan kepada mereka yang berjas serba putih dan peci hitam di kepalanya yang seolah-olah memandangku. “Indonesia merdeka karena jasa-jasamu.” Aku tak lupa untuk mengambil beberapa jepret foto dari berbagai sudut untuk menambah koleksi album perjalananku, siang ini. Dalam hati, aku merasa heran. Museum sederhana ini penuh dengan pelajaran yang menggunung, tapi kenapa begitu sepi? Tidak seperti di WaterBoom maupun mall-mall di ujung sana. “Ironis!” umpatku kecut.
        Setelah selesai mengambil beberapa jepretan, aku melangkah ke ruang depan. Terlihat koleksi-koleksi foto yang menggemaskan bila kita tahu betapa keren dan indahnya waktu itu. Ketika Indonesia diduduki manusia-manusia angkuh tak bermoral. Sedang ketika anak-anak negeri kepayahan mengusir penjajah berdarah dingin itu.
        Cukup lama, aku memandangi satu persatu koleksi di museum itu, detail. Ruangan itu begitu hening. Bahkan detak jarum jam di tanganku terdengar jelas. Sesekali aku memutar ke segala arah untuk memastikan bahwa jiwa para pejuang itu sedang berkumpul di sini. Sepertinya mereka menatapku penuh curiga. Namun, ada sebagian dari mereka melempar senyum kepadaku, dan sebagian yang lain juga mengucapkan salam kebangsaan, Merdeka!
        “Dek,”
        Suara laki-laki paruhbaya tiba-tiba menyentakkanku yang sedang terpana memandangi foto-koto kuno itu. “Kalau pengen lihat video atau film sejarah Sumpah Pemuda, kamu bisa ke ruang belakang. Nanti ada petugas yang memandu.” Lanjutnya ramah.
        “Iya kak, nanti saja. Foto-foto ini terlanjur membuatku terkesima.” Balasku berusaha menjaga agar tidak tersinggung. Memang foto-foto itu telah menghipnotisku. Bahkan seolah-olah aku telah bergabung bersamanya. Berunding, bertukar pendapat untuk mencapai satu tujuan yaitu merdeka. Petugas laki-laki itu mengangguk lalu meninggalkanku. Tapi jiwa-jiwa pejuang itu terus menemaniku, di ruang nostalgianya. Ruang yang sangat sakral baginya, maupun bagi anak cucu bangsa ini.
        Langkahku terus merambat, hingga sampai ke ruang paling depan. Di sana terdapat meja bundar, dan beberapa kursi kayu yang tertata rapi. Seketika, semua mata para pejuang itu menatapku. Wajahnya pucat tapi tak terlihat keluh kesah di kedua sorot matanya. “Benarkah aku bersamanya?” gumamku lirih, antara percaya atau hanya fatamorgana. Mereka tersenyum melihat kedatanganku. Seakan-akan kedatanganku sedang ditunggu-tunggu. Salah satu dari mereka mendekati, merangkul pundakku, lalu mengajakku untuk duduk bergabung bersamanya.
        “Bagaimana pendapatmu kalau kita buat ikrar Sumpah Pemuda? Kita buktikan bahwa Indonesia ini satu. Satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa.” Terdengar suara dengan nada serak berapi-api di depanku. Tepatnya, ia duduk di kursi menghadap ke arahku. Matanya bulat tajam, rahang pipinya menonjol jelas, dan caranya ia duduk terlihat begitu gagah. Kedua sorot matanya manatapku tajam. Terlihat otot-otot lehernya menegang penuh gairah kemerdekaan.
        Aku terpana melihatnya. Semangatnya begitu membara. “Aku setuju. Indonesia ini bukan boneka yang bisa dilempar sana-lempar ini. Kita harus bersatu!” jawabku tak mau kalah. Aku menatap satu persatu. Di sebelah sudut terlihat pemuda berkulit cokelat, lalu di sebelahnya berambut keriting dan mulut tebal tersenyum senang dengan komentarku. Ah! Indonesiaku begitu kaya. Beranekaragam suku, budaya, dan warna kulit. Pikirku membatin.
        Jedeeerrr!!!! Pyaaarrrr!!!
      Ccciiiiiiiittttttttt……!!!! Tiba-tiba terdengar kaca pecah dan dencitan roda kendaraan sangat keras. Suara itu sangat keras. Aku yang sedang terlena dengan perkumpulan pemuda-pemuda arif itu tiba-tiba terbangun untuk memastikan keadaan di luar benar-benar aman. Aku berlari menuju halaman. Terlihat kaca bus bagian belakang pecah berantakan. Dan seberang jalan aku melihat seorang pemuda tengah lari terbirit-birit.
        “Hooiiiiii!!! Berhentiiii!!!” teriak bapak-bapak yang mengejar pemuda berbaju putih abu-abu itu. Mereka lari tunjang palang di bibir jalan. Jalanan yang begitu ramai dengan lalu lalang kendaraan, membuatku tidak tahu jelas wajah anak muda itu. Hanya seragam khas anak berpendidikan yang aku tangkap.
        Semua penumpang di dalam bus, berhamburan keluar.
        “Dasar Anak nggak tau diuntung!!! Sudah disekolahin kagak bener juga tingkahnya.”
        “Woo dasar calon-calon preman!”
        “Awas kalau ketemu! Aku cincang-cincang tu anak!”
        Cacian, hinaan, dan sumpah serapah keluar dari mulut para penumpang dengan wajah geram. Aku mendekat ke badan bus. “Syukurlah kalau tidak ada korban jiwa,” gumamku lirih. Hanya ada ibu-ibu muda yang berdarah di bagian lengan akibat pecahan kaca. Sedang penumpang yang lain hanya memasang wajah panik. Aku segera meraih ransel yang ada dipunggungku untuk mengambil hansaplas dan tisu.
        “Buk! Lengan ibu berdarah. Sini, aku kasih hansaplas!” Pintaku berusaha menenangkan raut wajahnya yang terlihat panik melihat lengannya ada bercak darah.
        “Terimasih dek,” ucapnya sambil sedikit menahan perih ketika aku mengusap goresan luka di lengannya.
        Kendaraan yang sedang melintas seketika berhenti. Membuat jalanan macet karena kerumunan orang-orang yang ingin mengetahui kejadian tak bertanggung jawab itu.
        “Ibu kenal dengan anak-anak tadi?” tanyaku sambil mengelap darah dilengannya. Ibu itu menggeleng, pasrah.
        Aku menelan ludah getir. Dahulu, para pemuda sibuk tanpa peduli siang dan malam untuk mencapai kemerdekaannya. Sekarang, jiwa-jiwa para pemuda itu telah hilang arah. Terinfeksi oleh virus-virus premanisme yang tak bertanggung jawab atas negeri ini. Aku tersenyum getir sambil melirik papan kayu tertuliskan Museum Sumpah Pemuda Jalan Kramat Raya No. 106, Jakarta Pusat. Sebuah saksi bisu atas kejayaananmu masa itu.

Jule_28Okt'13