Bau khas ramuan pengawet benda-benda antik tercium mesra sejak aku
melangkah masuk ke salah satu museum yang ada di pusat ibukota, Jakarta. Aku
terus melangkah, melewati beberapa ruang karena tak sabar ingin tahu replika
pemuda-pemuda hebat masa dulu yang berada di ruang belakang. Patung berbentuk kepalan
tangan berwarna hitam kelam tiba-tiba menyambutku. Aku dibuatnya terhenyak. Ia terlihat
kokoh. Seakan ia berteriak, MERDEKA! Teriakan itu terdengar jelas di kedua
gendang telinga. Menembus kain jilbab biruku. Amat jelas. Aku membalasnya
dengan senyuman bangga. Lalu aku kembali melangkah. Mendekati patung-patung pemuda
superhero yang di batasi oleh pagar besi sebagai pembatas. Jiwa para pemuda
masa itu terekam jelas di patung replika itu. Sungguh jelas! Tanganku menyentuh
lembut pipi Sang Maestro, W.R. Supratman. Tak ketinggalan biola antik yang selalu
diapit antara pundak dan dagunya. Sang Maestro itu terlihat manis sekali.
Kacamata yang tak pernah lepas dari mata teduhnya memberi kesan kalau dia
benar-benar manusia cerdas. Aku tersenyum ramah kepadanya, lalu kepada para
tokoh yang duduk di sebelahnya.
“Terima kasih,” kataku pelan kepada mereka yang berjas serba putih dan peci hitam
di kepalanya yang seolah-olah memandangku. “Indonesia merdeka karena
jasa-jasamu.” Aku tak lupa untuk mengambil beberapa jepret foto dari
berbagai sudut untuk menambah koleksi album perjalananku, siang ini. Dalam
hati, aku merasa heran. Museum sederhana ini penuh dengan pelajaran yang menggunung,
tapi kenapa begitu sepi? Tidak seperti di WaterBoom maupun mall-mall di
ujung sana. “Ironis!” umpatku kecut.
Setelah selesai
mengambil beberapa jepretan, aku melangkah ke ruang depan. Terlihat
koleksi-koleksi foto yang menggemaskan bila kita tahu betapa keren dan indahnya
waktu itu. Ketika Indonesia diduduki manusia-manusia angkuh tak bermoral.
Sedang ketika anak-anak negeri kepayahan mengusir penjajah berdarah dingin itu.
Cukup lama, aku memandangi
satu persatu koleksi di museum itu, detail. Ruangan itu begitu hening. Bahkan
detak jarum jam di tanganku terdengar jelas. Sesekali aku memutar ke segala
arah untuk memastikan bahwa jiwa para pejuang itu sedang berkumpul di sini. Sepertinya
mereka menatapku penuh curiga. Namun, ada sebagian dari mereka melempar senyum
kepadaku, dan sebagian yang lain juga mengucapkan salam kebangsaan, Merdeka!
“Dek,”
Suara laki-laki
paruhbaya tiba-tiba menyentakkanku yang sedang terpana memandangi foto-koto
kuno itu. “Kalau pengen lihat video atau film sejarah Sumpah Pemuda, kamu
bisa ke ruang belakang. Nanti ada petugas yang memandu.” Lanjutnya ramah.
“Iya kak, nanti
saja. Foto-foto ini terlanjur membuatku terkesima.” Balasku berusaha
menjaga agar tidak tersinggung. Memang foto-foto itu telah menghipnotisku.
Bahkan seolah-olah aku telah bergabung bersamanya. Berunding, bertukar pendapat
untuk mencapai satu tujuan yaitu merdeka. Petugas laki-laki itu mengangguk lalu
meninggalkanku. Tapi jiwa-jiwa pejuang itu terus menemaniku, di ruang
nostalgianya. Ruang yang sangat sakral baginya, maupun bagi anak cucu bangsa
ini.
Langkahku terus
merambat, hingga sampai ke ruang paling depan. Di sana terdapat meja bundar,
dan beberapa kursi kayu yang tertata rapi. Seketika, semua mata para pejuang
itu menatapku. Wajahnya pucat tapi tak terlihat keluh kesah di kedua sorot
matanya. “Benarkah aku bersamanya?” gumamku lirih, antara percaya atau
hanya fatamorgana. Mereka tersenyum melihat kedatanganku. Seakan-akan kedatanganku
sedang ditunggu-tunggu. Salah satu dari mereka mendekati, merangkul pundakku,
lalu mengajakku untuk duduk bergabung bersamanya.
“Bagaimana
pendapatmu kalau kita buat ikrar Sumpah Pemuda? Kita buktikan bahwa Indonesia
ini satu. Satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa.” Terdengar suara dengan
nada serak berapi-api di depanku. Tepatnya, ia duduk di kursi menghadap ke
arahku. Matanya bulat tajam, rahang pipinya menonjol jelas, dan caranya ia
duduk terlihat begitu gagah. Kedua sorot matanya manatapku tajam. Terlihat
otot-otot lehernya menegang penuh gairah kemerdekaan.
Aku terpana
melihatnya. Semangatnya begitu membara. “Aku setuju. Indonesia ini bukan
boneka yang bisa dilempar sana-lempar ini. Kita harus bersatu!” jawabku tak
mau kalah. Aku menatap satu persatu. Di sebelah sudut terlihat pemuda berkulit
cokelat, lalu di sebelahnya berambut keriting dan mulut tebal tersenyum senang
dengan komentarku. Ah! Indonesiaku begitu kaya. Beranekaragam suku, budaya,
dan warna kulit. Pikirku membatin.
Jedeeerrr!!!! Pyaaarrrr!!!
Ccciiiiiiiittttttttt……!!!! Tiba-tiba terdengar kaca
pecah dan dencitan roda kendaraan sangat keras. Suara itu sangat keras. Aku
yang sedang terlena dengan perkumpulan pemuda-pemuda arif itu tiba-tiba
terbangun untuk memastikan keadaan di luar benar-benar aman. Aku berlari menuju
halaman. Terlihat kaca bus bagian belakang pecah berantakan. Dan seberang jalan
aku melihat seorang pemuda tengah lari terbirit-birit.
“Hooiiiiii!!! Berhentiiii!!!”
teriak bapak-bapak yang mengejar pemuda berbaju putih abu-abu itu. Mereka lari
tunjang palang di bibir jalan. Jalanan yang begitu ramai dengan lalu lalang
kendaraan, membuatku tidak tahu jelas wajah anak muda itu. Hanya seragam khas
anak berpendidikan yang aku tangkap.
Semua penumpang di
dalam bus, berhamburan keluar.
“Dasar Anak nggak
tau diuntung!!! Sudah disekolahin kagak bener juga tingkahnya.”
“Woo dasar
calon-calon preman!”
“Awas kalau ketemu!
Aku cincang-cincang tu anak!”
Cacian, hinaan, dan
sumpah serapah keluar dari mulut para penumpang dengan wajah geram. Aku
mendekat ke badan bus. “Syukurlah kalau
tidak ada korban jiwa,” gumamku lirih. Hanya ada ibu-ibu muda yang berdarah
di bagian lengan akibat pecahan kaca. Sedang penumpang yang lain hanya memasang
wajah panik. Aku segera meraih ransel yang ada dipunggungku untuk mengambil
hansaplas dan tisu.
“Buk! Lengan ibu
berdarah. Sini, aku kasih hansaplas!” Pintaku berusaha menenangkan raut
wajahnya yang terlihat panik melihat lengannya ada bercak darah.
“Terimasih dek,”
ucapnya sambil sedikit menahan perih ketika aku mengusap goresan luka di lengannya.
Kendaraan yang sedang
melintas seketika berhenti. Membuat jalanan macet karena kerumunan orang-orang
yang ingin mengetahui kejadian tak bertanggung jawab itu.
“Ibu kenal dengan
anak-anak tadi?” tanyaku sambil mengelap darah dilengannya. Ibu itu
menggeleng, pasrah.
Aku menelan ludah
getir. Dahulu, para pemuda sibuk tanpa peduli siang dan malam untuk mencapai
kemerdekaannya. Sekarang, jiwa-jiwa para pemuda itu telah hilang arah. Terinfeksi
oleh virus-virus premanisme yang tak bertanggung jawab atas negeri ini. Aku
tersenyum getir sambil melirik papan kayu tertuliskan Museum Sumpah Pemuda Jalan
Kramat Raya No. 106, Jakarta Pusat. Sebuah saksi bisu atas kejayaananmu masa itu.
Jule_28Okt'13