Rabu, 15 Mei 2013

Siluet Pagi



Sejak subuh tadi hingga pagi menyingsing, aku masih berdiri, memandang hamparan sawah dari atas balkon. Mata ini tak lelah menikmati hijaunya persawahan yang penuh dengan tanaman padi yang satu bulan lagi para petani bisa memanennya. Dan dalam diam, aku berusaha menyusun kalimat terbaik untuk seseorang yang tigapuluh menit lagi akan bertemu denganku. Mencari untaian kata dari setiap sudut persawahan yang memancarkan aura ramah, karena telah menyapa senyum
pagiku dengan pesonanya.
Semburat jingga sudah mulai terpancar dari ufuk timur. Terlihat cahaya kemerahan menampar ribuan tanaman padi di sawah, seberang jalan. Aku tersenyum puas, setelah yakin dan percaya bahwa kata-kata yang berhasil aku kumpulkan dalam benak nantinya tak akan membekas menjadi luka. Reno, laki-laki yang sudah aku kenal selama lima tahun ini pastinya sudah memahami cara ucap dan bahkan sifat kekanak-kanakanku. Dan aku pun segera berlari turun setelah terdengar bunyi bel beberapa kali.
“Masuk Ren!” pintaku cepat, lalu meninggalkannya sebentar untuk mengambilkan minum dan makanan kecil untuknya.
“Wajahmu terlihat pucat say?” katanya sambil menyelidik raut wajahku. Aku yang sedang meletakkan minuman di atas meja tiba-tiba terperangah. Sejak ia menembakku, sampai sekarang ia memanggilku dengan sebutan sayang. Aku sebenarnya risih, karena jujur dalam hati sulit menerimanya sebagai seorang kekasih, dan bagiku sampai detik ini ia tetap sahabatku.
“Oohh… mungkin karena belum terbiasa dengan cuaca dingin,” jawabku menutupi semua perasaan yang selama ini aku pendam. Sejak mengenalnya, ia lah orang pertama yang bisa membuatku tersenyum, rasanya sulit melepasnya, tapi karena ada rasa cinta yang secara terang-terangan keluar dari mulut tipisnya, tiba-tiba aku ingin enyah dari hidupnya.
“Sejak kau pindah ke sini, kau tak pernah menghubungiku lagi. Apa ada yang salah dengan diriku??” protesnya dengan ekspresi serius.
“Enggak, nggak ada yang salah, hmm…. aku hanya butuh ketenangan aja Ren…” balasku sabar, berusaha menjaga perasaannya. Aku akui, sebenarnya aku ingin menghindarinya. Dan bahkan aku ingin ia melupakanku, karena aku tak ingin membuatnya terluka terlalu dalam.
“Ketenangan yang bagaimana say? Apa kau tak nyaman lagi dengan kehadiranku?” tanyanya tak sabar ingin tahu. Sepertinya ia bisa membaca semburat kebohongan di wajahku.
“Ah, itu hanya perasaanmu aja!” tepisku cepat.
“Lantas kenapa kau tak pernah menghubungiku lagi? bahkan kau juga tak mengangkat teleponku???!!!” lanjutnya curiga.
“Maaf Ren, aku sengaja melakukan itu,” jawabku lemah, sedikit menunduk, merasa bersalah. Saat itu aku seperti tersangka yang sedang diadili. Dihujani sederet pertanyaan yang menyudutkan.
“Se-nga-jaaa???”
Aku mengangguk pelan.
Why? Anyproblems with me?
“Ren,” perlahan aku memberanikan diri untuk menatapnya, “aku… aku tak bisa seperti ini…”
“Seperti ini gimana sayang??” sahutnya tak sabar. Ia menggoyang-goyangkan tubuhku dengan mencengkeram erat kedua pundakku.
“Aku ingin kau melupakanku, meskipun aku tahu ini sulit untukmu,” kataku sambil menepis nafas, “aku hanya tak ingin kau semakin terluka…”
“Hah? Apa kau sudah punya tunangan? Seorang laki-laki yang lebih hebat dan bisa membuatmu terus tertawa puas!!??” katanya keras sambil berdiri menengadah, memandang ke segala sudut ruangan dengan kedua tangan terbuka.
“Kau salah Ren, kaulah satu-satunya orang yang mampu melakukan itu kepadaku!” aku ikut berdiri sambil menatapnya lekat.
“Lantas!?” sahutnya sambil tertawa kecut.
Aku kembali duduk, menarik nafas panjang, lalu segera membuangnya. “Tentunya kau sudah tahu, Ren ….” kataku sambil memandangnya iba. Saat ini aku merasa menjadi wanita terkejam yang berani mencabik-cabik perasaan dan harapan seorang laki-laki yang baik dan santun itu.
“Oke, oke, fine…!!! Aku memang tak pantas untukmu.” Katanya menyerah. Ia meletakkan tubuhnya di sudut kursi yang jauh dengan tempatku duduk.
“Kau tahu kalau sebenarnya aku mencintaimu?” aku mendekatinya, menyentuh tangannya di pangkuan. Terlihat otot-otot kemarahannya menonjol tegang di kedua pelipis.
“Iya, aku tahu!” jawabnya ketus tanpa menoleh ke arahku.
“Ren, aku senang telah mengenalmu, kau tahu kaulah satu-satunya orang yang bisa membuatku tersenyum.” Ujarku berusaha mencairkan suasana, sambil tersenyum tipis memandang Reno. “Kau ingat nggak ketika SMA dulu aku dijuluki nenek sewot, karena aku jarang tersenyum dan sering marah kalau ada anak yang menggodaku.” Sorot mataku terus memandang Reno, berusaha membuatnya mengingat masa lalu ketika pertama kali ia membuatku tertawa geli.
Dulu, Reno sering memberiku gambaran karikatur yang lucu. Kelihaiannya dalam hal gambar-menggambar menggeretnya untuk masuk ke jurusan seni rupa. Dan sampai detik ini aku masih sering dibuatnya tertawa oleh gambar-gambar konyol hasil imajinasinya.
“Aku tak mungkin melupakannya, Rez…! Kau tahu, aku memendam rasa sayang ini sejak kau tersenyum pertama kali kepadaku.” Ucapnya tenang sambil menoleh ke arahku. Sorot matanya yang teduh menangkap kedua sudut bola mataku. Cukup lama, ia terus menelanjangiku dengan tatapannya yang membius. Namun, aku segera mengalihkan pandangan, sebelum pikiran ini hanyut oleh nafsu hasil bujukan setan.
“Iya, aku pun begitu, Ren.” Jawabku pelan sambil membenahi letak duduk. Pagi ini aku tak ingin Reno menatapku, karena dengan tatapannya aku pasti tak mampu untuk mengelak. Aku sudah menata hati, bahwa aku tak semestinya bersanding dengannya. Meskipun, jujur, aku telah membohongi hati kecil ini.
“Rez, apa kau sudah punya tunangan?” Reno kembali mengulang pertanyaannya. Kali ini ia benar-benar terlihat lemah. Tidak seperti biasanya yang terlihat gagah, cool, dan selalu semangat.
Aku menggeleng pelan.
“Apa ayahmu tahu tentang kedekatan kita?”
Kepalaku mengangguk, “tapi Ren, ayah tak pernah menyuruhku untuk menjauhimu…” kataku cepat sebelum ia menyimpulkan tentang sikapku pagi ini.
“Iya, aku tahu, Om Aries bukan tipe orang seperti itu.” Ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.
Sekejap suasana menjadi hening.
Tubuhnya yang besar dirobohkannya pada sandaran kursi. Pandangannya lurus ke atas, menatap lamat-lamat ruang tamu. Sesekali menarik nafas panjang, lalu membuangnya kuat. Dan di ruang tamu itu hanya terdengar jarum jam yang berputar cepat. Secepat waktu yang telah memakan usia dan cerita masa sekolah dulu, bersamanya. Rupanya waktu telah mengajariku, bahwa hidup ini bukan untuk main-main, dan termasuk hati ini. Sudah saatnya aku harus memilih apa yang terbaik untuk dunia, dan juga akhirat nanti.
“Ren, kau marah kepadaku?” tanyaku ragu. Suasana pun kembali pecah.
“Iya, aku marah pada hatiku!” jawabnya mantap.
“Maafin aku ya,” kataku lemah.
“Aku butuh waktu Rez!” ujarnya, “aku tak tahu harus berbuat apa, tembok kita terlalu tinggi.”
Kali ini aku yang menatapnya. Terlihat parasnya pasrah. Kedua tangannya mengepal di atas pangkuan, seperti menyimpan dendam yang telah lama disimpannya.
“Kau telah menjatuhkanku, Rez!” suaranya kembali terdengar.
“Aku tak bermaksud….”
“Hah!!! Kau egois Rez!” potongnya geram.
“Aarrghhfff…. aku… aku ingin kau memahami keadaan ini, Ren. Kita tak mungkin bisa bersama! Ayah memang tak melarangku dekat dengamu, begitu juga ibuku. Mereka sangat menyukaimu, sehingga mempercayaimu untuk menjagaku selama tinggal di Jakarta. Tapi, aku harus tahu diri Ren, aku tak mungkin mengajakmu untuk mengikuti apa yang menjadi… aarrgghff… itu tak mungkin!” terangku dengan sorot mata yang berkaca-kaca.
“Tapi aku sungguh mencintaimu Rez….!” Ia kembali menggoyangkan tubuhku dengan tangannya yang kuat, tapi aku segera memberontaknya, lalu beranjak, melangkah mendekati jendela untuk menjauhi tatapannya.
“Sejujurnya, aku pun mencintaimu Ren.” Katanya pelan sambil melempar pandangan ke luar jendela.
“Apa kau tak merasa kehilanganku, jika kau percaya bahwa kau mencintaiku, kenapa kau tak ingin hidup bersamaku???”
“Antara hati dan pikiranku belum menyatu Ren, hatiku mengatakan telah mencintaimu, tapi pikiranku justru mengajakku untuk lari menjahuhimu.” Ucapku lemah sambil menoleh ke arahnya. Reno masih merobohkan tubuhnya di kursi.
Sebenarnya, aku tak ingin membuat keadaan kacau seperti ini. Tapi jika antara hati dan pikiran enggan menyatu, alhasil adalah ketidakberesan dalam mengambil keputusan. Dan cinta tak seharusnya dijadikan kambing hitam, karena kehadirannya telah banyak membuat orang lain tersenyum. Namun, untuk sebuah kepercayaan, aku harus rela bahwa cinta yang tumbuh ini hanya sebatas keinginan, bukan sebuah harapan. Airmataku mulai menetes dari kantung mata, mengalir membasahi pipi.
“Itu artinya kau meragukan cintaku, Rez!” nadanya naik sambil melangkah mendekatiku. Pandangannya tajam menusuk.
“Iya, aku meragukanmu…” suaraku lirih, hampir tak terdengar.
“Hoaaahhh!!!” umpatnya garang, “apakah aku harus bersumpah di atas kitab sucimu, atau bahkan aku harus mati dulu lalu terlahir kembali untuk mengatakan perasaan yang sama!!??? Ha?” raut wajahnya terlihat kacau. “Ooohh Tuhan… why did you create this difference?!!” tangannya meremas kepala.
            “Ren, please… I wish you could find a better one than me.” Tanganku meraih pundaknya, berusaha menenangkan. Reno hanya menggeleng berkali-kali, hingga tubuhnya rubuh, tersungkur di lantai.
            “Rez, aku tak bisa hidup tanpamu….” mulutnya bergeming sambil mencengkeram wajahku. Tatapannya lemah, memelas, berharap aku berubah pikiran dengan menarik semua kata-kata jahatku.
            “Maaf Ren, aku melakukan semua ini karena aku tak mau hal buruk menimpamu…”
            “Persetan!!! Hal buruk apa maksudmu!?”
            “Sejak ayah bercerai dengan ibu, rasanya sulit untuk tersenyum kepada kehidupan ini. Dan akhirnya aku mengenalmu, yang selalu bisa membuatku tersenyum dan tertawa lebar.” Aku menghela nafas, lalu segera membuangnya, “tapi, aku tak mau seperti apa yang dialami orang tuaku, bukan kematian yang memisahkan mereka, melainkan sebuah perceraian,” sambungku serius.
            “Aku nggak ngerti Rez.” Balasnya datar, sambil memicingkan bibir.
            “Aku sadar, aku telah melukai hatimu. Tapi, diam-diam aku ingin membuatmu tersenyum.” Aku memeluk Reno erat. “Aku sangat mencintaimu Ren, meskipun cinta ini tak mampu menyatukan kita,” ucapku sambil hanyut di lingkar lehernya. Aku merasakan detak jantungnya bersatu padu dengan detak jantungku yang berdegup kencang.
            “Aku ingin selalu membuatmu tersenyum, Rez. Itu janji kecilku kepadamu!”
            Aku melepaskan pelukannya, “Iya, terima kasih, tapi aku ingin kau juga membuat orang lain tersenyum sepertiku. Aku sudah terlalu banyak kau buat tersenyum, dan itu tak adil jika kau hanya mementingkan diriku.”
            Bola matanya membulat penuh, “Bodoh amat!!! Di dunia ini sudah tak ada lagi keadilan, Rez!” umpatnya kecut, “kenapa tidak dari awal membuatku benci? jika nyatanya kau tak bisa aku miliki?” lanjutnya tanpa ekpresi.
“Ren!!! Aku tak ingin kau….. aaarffgghhh… aku tak ingin kau mati sia-sia!!” suaraku menggeram.
            “Okelah, jika itu pilihanmu, lebih baik aku enyah dari hidup ini.” Jawabnya pasrah.
            “Ren, dunia ini telah banyak memakan korban, kau tahu itu bukan? Di dunia luar sana, banyak terjadi pertumpahan darah karena sebuah perbedaan. And now, i don't wanna fight no more,” kataku pelan, berusaha menguasai kemarahan yang menjalar ke umbun-umbun. Reno hanya memandangku, dingin.
            “Jika perbedaan hanya membawa celaka, kenapa harus ada?”
            “Bukan celaka Ren, tapi itu anugerah… hanya merekalah yang tak mau memahami arti pentingnya perbedaan. Perbedaan ada bukan untuk dimusnahkan, tapi untuk dihargai.” terangku, berusaha membuatnya mengerti. “Dan itulah sebabnya aku tak ingin menikahimu karena aku sangat menghargai keyakinanmu.” Pungkasku cepat.
            “Kenapa nggak dijadikan pelengkap di antara kita, Rez….?”
            “Maaf, aku nggak bisa Ren. Bagimu agamamu, bagiku agamaku. So, biarlah aku cukup menghargaimu sebagai seorang sahabat…”
            Reno terdiam, memandangku serius, “baiklah, aku terlalu egois karena telah memaksamu untuk mencintaiku. Dan, satu hal yang harus selalu kau ingat, aku tak kan berhenti mencintaimu. Biarlah senyummu selalu tersimpan erat dalam lubuk hatiku,” katanya sambil memandangku tanpa berkedip.
            Aku mengangguk senang, lalu kembali memeluknya erat. Dan pagi itu, matahari telah mengintip kami lewat jendela kaca. Menampar punggung kami, hingga membentuk siluet pagi, sepasang manusia yang saling melepas rasa dengan mencurahkan semua perasaan yang selama ini telah mengendap di dalam dada.
            Tuhan, Engkaulah yang jadi pemenangnya, dan cintaku telah kalah ...” batinku seraya memejamkan mata lekat, di lingkar leher Reno.
***TAMAT***

Tidak ada komentar: