Sejak
subuh tadi hingga pagi menyingsing, aku masih berdiri, memandang hamparan sawah
dari atas balkon. Mata ini tak lelah menikmati hijaunya persawahan yang penuh
dengan tanaman padi yang satu bulan lagi para petani bisa memanennya. Dan dalam
diam, aku berusaha menyusun kalimat terbaik untuk seseorang yang tigapuluh
menit lagi akan bertemu denganku. Mencari untaian kata dari setiap sudut
persawahan yang memancarkan aura ramah, karena telah menyapa senyum
Semburat
jingga sudah mulai terpancar dari ufuk timur. Terlihat cahaya kemerahan
menampar ribuan tanaman padi di sawah, seberang jalan. Aku tersenyum puas,
setelah yakin dan percaya bahwa kata-kata yang berhasil aku kumpulkan dalam
benak nantinya tak akan membekas menjadi luka. Reno, laki-laki yang sudah aku
kenal selama lima tahun ini pastinya sudah memahami cara ucap dan bahkan sifat
kekanak-kanakanku. Dan aku pun segera berlari turun setelah terdengar bunyi bel
beberapa kali.
“Masuk
Ren!” pintaku cepat, lalu meninggalkannya sebentar untuk mengambilkan minum dan
makanan kecil untuknya.
“Wajahmu
terlihat pucat say?” katanya sambil menyelidik raut wajahku. Aku yang sedang
meletakkan minuman di atas meja tiba-tiba terperangah. Sejak ia menembakku,
sampai sekarang ia memanggilku dengan sebutan sayang. Aku sebenarnya risih,
karena jujur dalam hati sulit menerimanya sebagai seorang kekasih, dan bagiku
sampai detik ini ia tetap sahabatku.
“Oohh…
mungkin karena belum terbiasa dengan cuaca dingin,” jawabku menutupi semua
perasaan yang selama ini aku pendam. Sejak mengenalnya, ia lah orang pertama
yang bisa membuatku tersenyum, rasanya sulit melepasnya, tapi karena ada rasa cinta
yang secara terang-terangan keluar dari mulut tipisnya, tiba-tiba aku ingin
enyah dari hidupnya.
“Sejak
kau pindah ke sini, kau tak pernah menghubungiku lagi. Apa ada yang salah
dengan diriku??” protesnya dengan ekspresi serius.
“Enggak,
nggak ada yang salah, hmm…. aku hanya butuh ketenangan aja Ren…” balasku sabar,
berusaha menjaga perasaannya. Aku akui, sebenarnya aku ingin menghindarinya.
Dan bahkan aku ingin ia melupakanku, karena aku tak ingin membuatnya terluka
terlalu dalam.
“Ketenangan
yang bagaimana say? Apa kau tak nyaman lagi dengan kehadiranku?” tanyanya tak
sabar ingin tahu. Sepertinya ia bisa membaca semburat kebohongan di wajahku.
“Ah,
itu hanya perasaanmu aja!” tepisku cepat.
“Lantas
kenapa kau tak pernah menghubungiku lagi? bahkan kau juga tak mengangkat
teleponku???!!!” lanjutnya curiga.
“Maaf
Ren, aku sengaja melakukan itu,” jawabku lemah, sedikit menunduk, merasa
bersalah. Saat itu aku seperti tersangka yang sedang diadili. Dihujani sederet
pertanyaan yang menyudutkan.
“Se-nga-jaaa???”
Aku
mengangguk pelan.
“Why? Anyproblems with me?”
“Ren,”
perlahan aku memberanikan diri untuk menatapnya, “aku… aku tak bisa seperti
ini…”
“Seperti
ini gimana sayang??” sahutnya tak sabar. Ia menggoyang-goyangkan tubuhku dengan
mencengkeram erat kedua pundakku.
“Aku
ingin kau melupakanku, meskipun aku tahu ini sulit untukmu,” kataku sambil
menepis nafas, “aku hanya tak ingin kau semakin terluka…”
“Hah?
Apa kau sudah punya tunangan? Seorang laki-laki yang lebih hebat dan bisa
membuatmu terus tertawa puas!!??” katanya keras sambil berdiri menengadah,
memandang ke segala sudut ruangan dengan kedua tangan terbuka.
“Kau
salah Ren, kaulah satu-satunya orang yang mampu melakukan itu kepadaku!” aku
ikut berdiri sambil menatapnya lekat.
“Lantas!?”
sahutnya sambil tertawa kecut.
Aku
kembali duduk, menarik nafas panjang, lalu segera membuangnya. “Tentunya kau
sudah tahu, Ren ….” kataku sambil memandangnya iba. Saat ini aku merasa menjadi
wanita terkejam yang berani mencabik-cabik perasaan dan harapan seorang
laki-laki yang baik dan santun itu.
“Oke,
oke, fine…!!! Aku memang tak pantas
untukmu.” Katanya menyerah. Ia meletakkan tubuhnya di sudut kursi yang jauh
dengan tempatku duduk.
“Kau
tahu kalau sebenarnya aku mencintaimu?” aku mendekatinya, menyentuh tangannya
di pangkuan. Terlihat otot-otot kemarahannya menonjol tegang di kedua pelipis.
“Iya,
aku tahu!” jawabnya ketus tanpa menoleh ke arahku.
“Ren,
aku senang telah mengenalmu, kau tahu kaulah satu-satunya orang yang bisa
membuatku tersenyum.” Ujarku berusaha mencairkan suasana, sambil tersenyum tipis
memandang Reno. “Kau ingat nggak ketika SMA dulu aku dijuluki nenek sewot,
karena aku jarang tersenyum dan sering marah kalau ada anak yang menggodaku.”
Sorot mataku terus memandang Reno, berusaha membuatnya mengingat masa lalu ketika
pertama kali ia membuatku tertawa geli.
Dulu,
Reno sering memberiku gambaran karikatur yang lucu. Kelihaiannya dalam hal
gambar-menggambar menggeretnya untuk masuk ke jurusan seni rupa. Dan sampai
detik ini aku masih sering dibuatnya tertawa oleh gambar-gambar konyol hasil
imajinasinya.
“Aku
tak mungkin melupakannya, Rez…! Kau tahu, aku memendam rasa sayang ini sejak
kau tersenyum pertama kali kepadaku.” Ucapnya tenang sambil menoleh ke arahku.
Sorot matanya yang teduh menangkap kedua sudut bola mataku. Cukup lama, ia
terus menelanjangiku dengan tatapannya yang membius. Namun, aku segera
mengalihkan pandangan, sebelum pikiran ini hanyut oleh nafsu hasil bujukan
setan.
“Iya,
aku pun begitu, Ren.” Jawabku pelan sambil membenahi letak duduk. Pagi ini aku
tak ingin Reno menatapku, karena dengan tatapannya aku pasti tak mampu untuk
mengelak. Aku sudah menata hati, bahwa aku tak semestinya bersanding dengannya.
Meskipun, jujur, aku telah membohongi hati kecil ini.
“Rez,
apa kau sudah punya tunangan?” Reno kembali mengulang pertanyaannya. Kali ini
ia benar-benar terlihat lemah. Tidak seperti biasanya yang terlihat gagah, cool, dan selalu semangat.
Aku
menggeleng pelan.
“Apa
ayahmu tahu tentang kedekatan kita?”
Kepalaku
mengangguk, “tapi Ren, ayah tak pernah menyuruhku untuk menjauhimu…” kataku
cepat sebelum ia menyimpulkan tentang sikapku pagi ini.
“Iya,
aku tahu, Om Aries bukan tipe orang seperti itu.” Ia menutup wajahnya dengan
kedua telapak tangan.
Sekejap
suasana menjadi hening.
Tubuhnya
yang besar dirobohkannya pada sandaran kursi. Pandangannya lurus ke atas,
menatap lamat-lamat ruang tamu. Sesekali menarik nafas panjang, lalu
membuangnya kuat. Dan di ruang tamu itu hanya terdengar jarum jam yang berputar
cepat. Secepat waktu yang telah memakan usia dan cerita masa sekolah dulu,
bersamanya. Rupanya waktu telah mengajariku, bahwa hidup ini bukan untuk
main-main, dan termasuk hati ini. Sudah saatnya aku harus memilih apa yang
terbaik untuk dunia, dan juga akhirat nanti.
“Ren,
kau marah kepadaku?” tanyaku ragu. Suasana pun kembali pecah.
“Iya,
aku marah pada hatiku!” jawabnya mantap.
“Maafin
aku ya,” kataku lemah.
“Aku
butuh waktu Rez!” ujarnya, “aku tak tahu harus berbuat apa, tembok kita terlalu
tinggi.”
Kali
ini aku yang menatapnya. Terlihat parasnya pasrah. Kedua tangannya mengepal di
atas pangkuan, seperti menyimpan dendam yang telah lama disimpannya.
“Kau
telah menjatuhkanku, Rez!” suaranya kembali terdengar.
“Aku
tak bermaksud….”
“Hah!!!
Kau egois Rez!” potongnya geram.
“Aarrghhfff….
aku… aku ingin kau memahami keadaan ini, Ren. Kita tak mungkin bisa bersama!
Ayah memang tak melarangku dekat dengamu, begitu juga ibuku. Mereka sangat
menyukaimu, sehingga mempercayaimu untuk menjagaku selama tinggal di Jakarta.
Tapi, aku harus tahu diri Ren, aku tak mungkin mengajakmu untuk mengikuti apa
yang menjadi… aarrgghff… itu tak mungkin!” terangku dengan sorot mata yang berkaca-kaca.
“Tapi
aku sungguh mencintaimu Rez….!” Ia kembali menggoyangkan tubuhku dengan
tangannya yang kuat, tapi aku segera memberontaknya, lalu beranjak, melangkah
mendekati jendela untuk menjauhi tatapannya.
“Sejujurnya,
aku pun mencintaimu Ren.” Katanya pelan sambil melempar pandangan ke luar
jendela.
“Apa
kau tak merasa kehilanganku, jika kau percaya bahwa kau mencintaiku, kenapa kau
tak ingin hidup bersamaku???”
“Antara
hati dan pikiranku belum menyatu Ren, hatiku mengatakan telah mencintaimu, tapi
pikiranku justru mengajakku untuk lari menjahuhimu.” Ucapku lemah sambil
menoleh ke arahnya. Reno masih merobohkan tubuhnya di kursi.
Sebenarnya,
aku tak ingin membuat keadaan kacau seperti ini. Tapi jika antara hati dan
pikiran enggan menyatu, alhasil adalah ketidakberesan dalam mengambil
keputusan. Dan cinta tak seharusnya dijadikan kambing hitam, karena
kehadirannya telah banyak membuat orang lain tersenyum. Namun, untuk sebuah
kepercayaan, aku harus rela bahwa cinta yang tumbuh ini hanya sebatas keinginan,
bukan sebuah harapan. Airmataku mulai menetes dari kantung mata, mengalir membasahi
pipi.
“Itu
artinya kau meragukan cintaku, Rez!” nadanya naik sambil melangkah mendekatiku.
Pandangannya tajam menusuk.
“Iya,
aku meragukanmu…” suaraku lirih, hampir tak terdengar.
“Hoaaahhh!!!”
umpatnya garang, “apakah aku harus bersumpah di atas kitab sucimu, atau bahkan
aku harus mati dulu lalu terlahir kembali untuk mengatakan perasaan yang sama!!???
Ha?” raut wajahnya terlihat kacau. “Ooohh Tuhan… why did you create this difference?!!” tangannya meremas kepala.
“Ren, please… I wish you could find a better one than me.” Tanganku meraih pundaknya, berusaha menenangkan. Reno hanya menggeleng
berkali-kali, hingga tubuhnya rubuh, tersungkur di lantai.
“Rez, aku tak bisa hidup tanpamu….” mulutnya
bergeming sambil mencengkeram wajahku. Tatapannya lemah, memelas, berharap aku
berubah pikiran dengan menarik semua kata-kata jahatku.
“Maaf Ren, aku melakukan semua ini
karena aku tak mau hal buruk menimpamu…”
“Persetan!!! Hal buruk apa
maksudmu!?”
“Sejak ayah bercerai dengan ibu,
rasanya sulit untuk tersenyum kepada kehidupan ini. Dan akhirnya aku
mengenalmu, yang selalu bisa membuatku tersenyum dan tertawa lebar.” Aku
menghela nafas, lalu segera membuangnya, “tapi, aku tak mau seperti apa yang
dialami orang tuaku, bukan kematian yang memisahkan mereka, melainkan sebuah
perceraian,” sambungku serius.
“Aku nggak ngerti Rez.” Balasnya
datar, sambil memicingkan bibir.
“Aku sadar, aku telah melukai
hatimu. Tapi, diam-diam aku ingin membuatmu tersenyum.” Aku memeluk Reno erat.
“Aku sangat mencintaimu Ren, meskipun cinta ini tak mampu menyatukan kita,”
ucapku sambil hanyut di lingkar lehernya. Aku merasakan detak jantungnya
bersatu padu dengan detak jantungku yang berdegup kencang.
“Aku ingin selalu membuatmu
tersenyum, Rez. Itu janji kecilku kepadamu!”
Aku melepaskan pelukannya, “Iya,
terima kasih, tapi aku ingin kau juga membuat orang lain tersenyum sepertiku.
Aku sudah terlalu banyak kau buat tersenyum, dan itu tak adil jika kau hanya
mementingkan diriku.”
Bola matanya membulat penuh, “Bodoh
amat!!! Di dunia ini sudah tak ada lagi keadilan, Rez!” umpatnya kecut, “kenapa
tidak dari awal membuatku benci? jika nyatanya kau tak bisa aku miliki?”
lanjutnya tanpa ekpresi.
“Ren!!! Aku tak ingin kau….. aaarffgghhh… aku tak ingin kau mati sia-sia!!”
suaraku menggeram.
“Okelah, jika itu pilihanmu, lebih
baik aku enyah dari hidup ini.” Jawabnya pasrah.
“Ren, dunia ini telah banyak memakan
korban, kau tahu itu bukan? Di dunia luar sana, banyak terjadi pertumpahan
darah karena sebuah perbedaan. And now, i don't wanna fight no more,” kataku pelan,
berusaha menguasai kemarahan yang menjalar ke umbun-umbun. Reno hanya
memandangku, dingin.
“Jika perbedaan hanya membawa
celaka, kenapa harus ada?”
“Bukan celaka Ren, tapi itu
anugerah… hanya merekalah yang tak mau memahami arti pentingnya perbedaan.
Perbedaan ada bukan untuk dimusnahkan, tapi untuk dihargai.” terangku, berusaha
membuatnya mengerti. “Dan itulah sebabnya aku tak ingin menikahimu karena aku
sangat menghargai keyakinanmu.” Pungkasku cepat.
“Kenapa nggak dijadikan pelengkap di
antara kita, Rez….?”
“Maaf, aku nggak bisa Ren. Bagimu
agamamu, bagiku agamaku. So, biarlah
aku cukup menghargaimu sebagai seorang sahabat…”
Reno terdiam, memandangku serius, “baiklah,
aku terlalu egois karena telah memaksamu untuk mencintaiku. Dan, satu hal yang
harus selalu kau ingat, aku tak kan berhenti mencintaimu. Biarlah senyummu
selalu tersimpan erat dalam lubuk hatiku,” katanya sambil memandangku tanpa
berkedip.
Aku mengangguk senang, lalu kembali
memeluknya erat. Dan pagi itu, matahari telah mengintip kami lewat jendela
kaca. Menampar punggung kami, hingga membentuk siluet pagi, sepasang manusia yang
saling melepas rasa dengan mencurahkan semua perasaan yang selama ini telah
mengendap di dalam dada.
“Tuhan,
Engkaulah yang jadi pemenangnya, dan cintaku telah kalah ...” batinku
seraya memejamkan mata lekat, di lingkar leher Reno.
***TAMAT***