Judul
: Memang Jodoh
Penulis
: Marah Rusli
Jenis Buku :
Fiksi
Penerbit : Qanita PT Mizan Pustaka
Cetakan II :
September 2013
Harga : Rp. 67.000,- at Gramedia
Tebal
: 535 halaman
Sinopsis
Memang Jodoh adalah
novel terakhir dari penulis Siti Nurbaya karya Marah Rusli. Buku ini menceritakan kisah kehidupan seorang
pemuda di Padang, Sumatra Barat, yang selalu dipusingkan dengan perkara kawin
dimanapun berada. Namun, Hamli yang merupakan tokoh pemuda Padang itu mampu
melewati desakan-desakan oleh kaum keluarga dan juga adat sukunya yang
menginginkannya untuk berpoligami.
Menurut Hamli, adat
sukunya itu dirasanya sangat ganjil dan tidak bisa mengikuti perkembangan
zaman. “Kata pepatah: musim beralir,
zaman bertukar”, ujar Hamli kepada ibunya, perihal perkara kawin di
negerinya.
“Dan dengan pertukaran
zaman itu, bertukar juga keadaan. Yang lama diganti oleh yang baru dan keadaan
yang ini membawa corak dan warna yang baru pula, yang mungkin tak dapat
disesuaikan lagi dengan corak dan warna tua …” Begitulah pemikiran Hamli tentang
adat perkawinan di negerinya. Cukup lama Hamli dan ibunya berselisih paham
mengenai adat yang selalu diagung-agungkan di negerinya, Padang.
Hamli
pun memutuskan untuk melanggar adat, merantau demi ilmu. Dan ketika dalam
perantauan dia bertemu dengan mojang Priangan yang menawan hatinya, pilihan
getir terpaksa untuk diambil. Hamli rela “dibuang” oleh adat dan orang tuanya
demi cinta.
Marah Hamli, seorang
siswa dari sekolah pertanian di Bogor meningkah dengan Nyai Din Wati yang
berasal dari suku Sunda. Akibat pernikahannya itu, Hamli rela dibuang dari
keluarganya. Ibunya, Siti Anjani pun tidak bisa berbuat apa-apa setelah
mendengar kabar, kalau putranya menikah di perantauan dengan gadis yang berasal
dari luar sukunya. Siti Anjani mendapat cemooh dari berbagai penjuru di negeri Padang
perihal pernikahan yang tidak se-negeri (se-suku) itu. Nenek Hamli, Khatijah,
yang sejak kecil merawat Hamli dan merawat Hamli selama di perantauan tidak
bisa berbuat banyak kecuali merestui pernikahan cucunya dengan Din Wati. Karena
berkat Din Wati, penyakit “aneh” Hamli bisa sembuh dan bisa meneruskan sekolah
sampai lulus.
“Dari muka, dari
belakang, dari kiri, dari kanan, aku dipersama-samakan, supaya aku tunduk
kepada kebiasaan negeri kita (red.Padang), yaitu beristri banyak. Bagaimana aku
dapat bekerja dengan baik untuk bangsa dan negara, kalau aku selalu dibisingkan
dengan perkara kawin saja? Sedangkan, hatiku rasanya penuh cita-cita, untuk
memperbaiki yang belum sempurna dan menambah yang masih kurang”. Kata Hamli
kepada Nurdin, sahabatnya ketika masih sekolah Raja di Bukittinggi.
Berkat keteguhan hati
Hamli dan juga Din Wati yang mengatakan bahwa pertemuannya adalah memang jodoh
dan takdir dari Tuhan, maka segala aral rintangan yang datang dari keluarga Din
Wati pdan juga keluarga Hamli pun bisa dilalui. Mereka menikah dengan sangat
sederhana, dan bersembunyi-sembunyi. Hamli ditemani neneknya, Khatijah dan
bibinya, Khalsum. Sedangkan Din Wati oleh ibunya, Ratu Maimunah.
Asal-usul Hamli,
seorang pemuda rantau itulah yang menjadi sebab musabab sebagian besar keluarga
Din Wati mengapa tidak menyetujui pernikahan kemenakannya. Apalagi dengan
adanya cerita-cerita tentang adat Padang yang memperbolehkan seorang laki-laki
untuk beristri banyak. Keluarga Din Wati tidak ingin melihat kemenakannya, Din
Wati dimadu oleh Hamli. Namun, meskipun keluarga Din Wati tidak menyetujuinya, ayah
Din Wati, Radin Jaya Kesuma yang saat itu sedang tugas keluar kota merestui
pernikahan anaknya dengan pemuda rantau yang masih berstatus siswa dan belum bekerja
itu, dari jarak jauh. Begitu juga ayah Hamli yang bernama Sutan Bendara pun
merestui pernikahan anaknya dengan perempuan Sunda. Sutan Bendara tidak ingin
anaknya bernasib sama, menikah lebih dari satu. Sutan Bendara masih mencintai
ibunya Hamli, Siti Anjani, tapi karena sebagai putra Padang, Sutan Bendara
tidak bisa berbuat banyak kecuali menuruti untuk menikah lagi. Namun, adat
Padang yang begitu kaku dan keukeuh
tidak menjadi penghalang bagi Sutan Bendara, Hopjaksa Medan, seorang bangsawan
tinggi di Padang, yang berasal dari istana Pagarayung, Kerajaan Minangkabau dan
dari Raja Nan Sebaris Ulakan di Pariaman itu untuk merestui pernikahan
putranya, Marah Hamli.
Bujuk rayu serta
guna-guna yang diperuntukkan untuk sepasang kekasih itu tak pernah berhasil.
Suatu saat, ketika
Hamli berkunjung ke Padang tanpa ditemani Din Wati, untuk menjenguk ibunya,
lagi-lagi Hamli disesali dengan masalah kawin dan kawin. Kesalahan Hamli karena
beristri dengan yang berlain negeri telah membuatnya menjadi terdakwa serta
berstatus orang buangan. Dan sidang adat pun digelar guna membicarakan hal
ihwal perkawinan Hamli.
“… dan karena kau
laki-laki Padang, kau harus menuruti adat Padang.” sela seorang hadirin sidang.
“Demikianlah jadinya,
kalau anak-anak disekolahkan terlalu tinggi; jadi berbalik pikiran.” Umpat
seorang keluarga yang tak muda lagi umurnya kepada Marah Hamli.
Mendengar perkataan
ini, mulailah panas hati Hamli. “Bukan saya yang meminta supaya saya
disekolahkan tinggi-tinggi. Jika saya tidak bersekolah dan tetap tinggal di
kampung, dengan pengetahuan kampung, niscaya saya akan dapat pula menuruti
segala adat istiadat Padang, yang jauh menyimpang dari adat bangsa-bangsa lain
di dunia ini.”
“Lebih-lebih yang telah
cerdik pandai, karena tak sesuai lagi pikirannya dengan pikiran orang Padang
ini. Dengan demikian, sekalian kepandaiannya tak dapat dicurahkannya di
negerinya sendiri melainkan akan jatuhlah ke tangan orang lain, yang lebih
dapat menghargai kepandaian itu. Yang akan tinggal di Padang ini, hanyalah yang
tua-tua, yang masih terikat aturan negerinya. Tetapi, mereka (red.tua) ini pun
tak lama pula hidupnya; segera meningalkan bangsa dan negerinya. Siapa lagi
akan mengurus negeri (red.Padang)? Ataukah akan menjadi seperti yang dikatakan
orang Padang sendiri sekarang ini; Apabila dari “Minangkau”, minangnya telah
keluar dari Padang ini, yang tinggal hanya ”kabaunya” lagi di negeri kita ini,
untuk mempertahankan adat lembaga mereka …”, kata Hamli dengan kata-kata yang
mulai kasar sehingga ibunya beberapa kali mengerling kepadanya, untuk
menyabarkan.
‘”Jadi, pendeknya tak
dapat kau menuruti permintaan kami?” tanya istri laki-laki yang benci kepada
Hamli.
“Dengan sangat
menyesal, saya ulang sekali lagi perkataan saya, tak dapat.” Sahut Hamli dengan
pasti.
Setelah lulus sekolah,
Hamli ditugaskan di Sumbawa kemudian ke Blitar. Peristiwa meletusnya Gunung
Kelud yang telah memakan korban nyawa kira-kira 3.000 orang dan meluluhlantakan
rumah serta harta benda turut menjadi kisah perjalanan hidup bersama anak dan
istrinya. Akhirnya, Hamli harus pindah-pindah tempat kerja dengan alasan
ini-itu. Kedatangan tentara Jepang, lalu tentara Inggris dan Belanda ke tanah
Jawa, khususnya Semarang, turut menjadi kisah yang sangat memilukan untuk
keluarganya.
Sebagai lulusan
pertanian, tenaga Hamli sangat dibutuhkan oleh pemerintah. Berhubung dengan kesehatan
badannya, terpaksalah pemerintah memberhentikan Hamli dengan ucapan terima
kasih atas segala jasanya dan memberinya pensiun setinggi-tingginya.
Sejak saat itu Hamli
tinggal dan beristirahat dengan keluarganya di Salabintana Sukabumi. Tatkala
usia perkawinannya dengan Din Wati genap lima puluh tahun, dikumpulkannya seluruh
anak-cucu, kemenakan dan menantu, kaum kelurga, sahabat, dan kenalannya, untuk
memeringati dan merayakan hari yang amat penting baginya itu, dengan
mengesahkan bahwa perjodohannya dengan Din Wati adalah jodoh sejati yang
ditakdirkan Tuhan.
Tema
Tema yang tersirat
dalam novel Memang Jodoh ini adalah tentang percintaan dan perjuangan dalam
mempertakankan tali cintanya terhadap peraturan adat suku Padang. Hal itu dapat
dilihat dari keteguhan cinta Hamli an Din Wati yang saling mencintai dan
masing-masing tak ingin dimadu.
Kelebihan
Buku Memang Jodoh
adalah cara penulis untuk memprotes anjuran poligami dari keluarga Padang. Buku
ini menggambarkan bagaimana keras hati penulis dalam menentang poligami. Tapi
disampaikan dengan cara santun. Buku ini sudah dibuat lebih dari 50 tahun yang
lalu. Tepai baru boleh diterbitkan setelah orang-orang yang terlibat di
dalamnya meninggal dunia. Penulis tidak ingin menyakiti hati keluarga di
Padang. Sudah barang tentu, suasana dan adat di Padang dewsa ini tidak lagi
selayaknya 100 tahun yang lalu. Dalam buku ini semua nama sudah disamarkan.
Karena ditulis lebih dari 50 tahun yang lalu, bahas Indonesia yang digunakan
dalam buku Memang Jodoh sejatinya tidak lagi sama dengan bahasa Indonesia yang
digunakan saat ini. Namun, masih sangat nyaman untuk dibaca. Sambil mengenang
kembali bahasa Indonesia dalam tatanan lama yang baik dan benar.
Kekurangan
Bagi yang tidak paham
bahasa dari tanah Padang, ini akan menjadi kesulitan. Mengenai struktur atau silsilah
garis keturunan adat Padang juga menjadikan harus sedikit berpikir untuk
menggambarkannya. Karena itu berbeda dengan yang di Jawa. Ane sebagai orang
Jawa sedikit ewuh untuk memahaminya. Namun,
kisah cinta dan kehidupan yang penuh dengan perkara kawin membuat ane terus
terpaku dan memelototinya untuk menghabiskan lembar demi lembar. Hehe.
***
Dan akhirnya, selesai
juga resensinya. Setelah terkatung-katung beberapa bulan, sekarang bisa
ngeshare ini cerita dan sedikit mencurahkan … #ups.
Dari sekian buku yang
menjadi rekomendasi, akhirnya tanpa ada unsur kesengajaan ane pilih buku “Memang
Jodoh” dan dua buku lainnya dari sudut rak buku Gramedia. Setelah ane baca,
sepertinya ane sudah mendengar cerita itu dari nara sumber (anak negeri Sumatra
Barat). Ah! Itu hanya kebetulan saja, pikir ane. Dia biarlah menjadi dia, bukan
Marah Hamli yang berani menerjang adat sukunya yang “istimewa” itu. Thank you for the
story of the past… And now,
I hope you're happy with your love :)
Untuk mengetahui ceritanya secara utuh, silahkan membeli di toko-toko terdekat. Ini hanya sekelumit cerita yang terpenggal-penggal. Selamat membaca… :*