Kamis, 15 Mei 2014

Namanya "si Gaston"


Aku menamainya Gaston. Ya, kura-kura kecil dari pasar Gede itu, namanya Gaston. Haha. Lucu dan aneh, kan? Aku sendiri sebenarnya ga suka ama tu Gaston, yang sukanya nendang bola. Tapi, ane suka ma ni Gaston, si kura-kura.
Tapi,,, itu dulu. Ya, dulu sekali. Sekarang mendengar kabarnya saja, tak lagi. Apalagi melihat tingkah polahnya yang tak pernah diam. Sekarang, meskipun begitu, aku pun tak menyesalinya. Senang, bisa memberikan hadiah kecil itu untuknya. Senang, ada cerita lucu itu bersamanya.
Dan sekarang, si Gaston,,, ah entahlah! Masih hidupkah dia, ato udah kering tinggal cangkangnya duang?! Biarlah. Dia memang bukan milikku lagi. Dia milik dia yang telah meninggalkannya. Tapi apa mau dikata, dia memang harus meninggalkan Gaston lucu itu. Yah, demi masa depan!!!
Terima kasih untuk segudang cerita bersamamu. Di sini, hanya sekelumit cerita panjang itu. Entah kapan, dan kalaupun masih ada waktu, ingin sekali merangkainya menjadi sebuah karya. Semoga berhasil, kau yang di sana… *pnew

Rabu, 09 April 2014

Resensi Novel MEMANG JODOH





Judul              : Memang Jodoh
Penulis           : Marah Rusli
Jenis Buku     : Fiksi
Penerbit         : Qanita PT Mizan Pustaka
Cetakan II      : September 2013
Harga              : Rp. 67.000,- at Gramedia
Tebal              : 535 halaman

Sinopsis
Memang Jodoh adalah novel terakhir dari penulis Siti Nurbaya karya Marah Rusli.  Buku ini menceritakan kisah kehidupan seorang pemuda di Padang, Sumatra Barat, yang selalu dipusingkan dengan perkara kawin dimanapun berada. Namun, Hamli yang merupakan tokoh pemuda Padang itu mampu melewati desakan-desakan oleh kaum keluarga dan juga adat sukunya yang menginginkannya untuk berpoligami.
Menurut Hamli, adat sukunya itu dirasanya sangat ganjil dan tidak bisa mengikuti perkembangan zaman. “Kata pepatah: musim beralir, zaman bertukar”, ujar Hamli kepada ibunya, perihal perkara kawin di negerinya.
“Dan dengan pertukaran zaman itu, bertukar juga keadaan. Yang lama diganti oleh yang baru dan keadaan yang ini membawa corak dan warna yang baru pula, yang mungkin tak dapat disesuaikan lagi dengan corak dan warna tua …” Begitulah pemikiran Hamli tentang adat perkawinan di negerinya. Cukup lama Hamli dan ibunya berselisih paham mengenai adat yang selalu diagung-agungkan di negerinya, Padang.
Hamli pun memutuskan untuk melanggar adat, merantau demi ilmu. Dan ketika dalam perantauan dia bertemu dengan mojang Priangan yang menawan hatinya, pilihan getir terpaksa untuk diambil. Hamli rela “dibuang” oleh adat dan orang tuanya demi cinta.
Marah Hamli, seorang siswa dari sekolah pertanian di Bogor meningkah dengan Nyai Din Wati yang berasal dari suku Sunda. Akibat pernikahannya itu, Hamli rela dibuang dari keluarganya. Ibunya, Siti Anjani pun tidak bisa berbuat apa-apa setelah mendengar kabar, kalau putranya menikah di perantauan dengan gadis yang berasal dari luar sukunya. Siti Anjani mendapat cemooh dari berbagai penjuru di negeri Padang perihal pernikahan yang tidak se-negeri (se-suku) itu. Nenek Hamli, Khatijah, yang sejak kecil merawat Hamli dan merawat Hamli selama di perantauan tidak bisa berbuat banyak kecuali merestui pernikahan cucunya dengan Din Wati. Karena berkat Din Wati, penyakit “aneh” Hamli bisa sembuh dan bisa meneruskan sekolah sampai lulus.
“Dari muka, dari belakang, dari kiri, dari kanan, aku dipersama-samakan, supaya aku tunduk kepada kebiasaan negeri kita (red.Padang), yaitu beristri banyak. Bagaimana aku dapat bekerja dengan baik untuk bangsa dan negara, kalau aku selalu dibisingkan dengan perkara kawin saja? Sedangkan, hatiku rasanya penuh cita-cita, untuk memperbaiki yang belum sempurna dan menambah yang masih kurang”. Kata Hamli kepada Nurdin, sahabatnya ketika masih sekolah Raja di Bukittinggi.
Berkat keteguhan hati Hamli dan juga Din Wati yang mengatakan bahwa pertemuannya adalah memang jodoh dan takdir dari Tuhan, maka segala aral rintangan yang datang dari keluarga Din Wati pdan juga keluarga Hamli pun bisa dilalui. Mereka menikah dengan sangat sederhana, dan bersembunyi-sembunyi. Hamli ditemani neneknya, Khatijah dan bibinya, Khalsum. Sedangkan Din Wati oleh ibunya, Ratu Maimunah.
Asal-usul Hamli, seorang pemuda rantau itulah yang menjadi sebab musabab sebagian besar keluarga Din Wati mengapa tidak menyetujui pernikahan kemenakannya. Apalagi dengan adanya cerita-cerita tentang adat Padang yang memperbolehkan seorang laki-laki untuk beristri banyak. Keluarga Din Wati tidak ingin melihat kemenakannya, Din Wati dimadu oleh Hamli. Namun, meskipun keluarga Din Wati tidak menyetujuinya, ayah Din Wati, Radin Jaya Kesuma yang saat itu sedang tugas keluar kota merestui pernikahan anaknya dengan pemuda rantau yang masih berstatus siswa dan belum bekerja itu, dari jarak jauh. Begitu juga ayah Hamli yang bernama Sutan Bendara pun merestui pernikahan anaknya dengan perempuan Sunda. Sutan Bendara tidak ingin anaknya bernasib sama, menikah lebih dari satu. Sutan Bendara masih mencintai ibunya Hamli, Siti Anjani, tapi karena sebagai putra Padang, Sutan Bendara tidak bisa berbuat banyak kecuali menuruti untuk menikah lagi. Namun, adat Padang yang begitu kaku dan keukeuh tidak menjadi penghalang bagi Sutan Bendara, Hopjaksa Medan, seorang bangsawan tinggi di Padang, yang berasal dari istana Pagarayung, Kerajaan Minangkabau dan dari Raja Nan Sebaris Ulakan di Pariaman itu untuk merestui pernikahan putranya, Marah Hamli.
Bujuk rayu serta guna-guna yang diperuntukkan untuk sepasang kekasih itu tak pernah berhasil.
Suatu saat, ketika Hamli berkunjung ke Padang tanpa ditemani Din Wati, untuk menjenguk ibunya, lagi-lagi Hamli disesali dengan masalah kawin dan kawin. Kesalahan Hamli karena beristri dengan yang berlain negeri telah membuatnya menjadi terdakwa serta berstatus orang buangan. Dan sidang adat pun digelar guna membicarakan hal ihwal perkawinan Hamli.
“… dan karena kau laki-laki Padang, kau harus menuruti adat Padang.” sela seorang hadirin sidang.
“Demikianlah jadinya, kalau anak-anak disekolahkan terlalu tinggi; jadi berbalik pikiran.” Umpat seorang keluarga yang tak muda lagi umurnya kepada Marah Hamli.
Mendengar perkataan ini, mulailah panas hati Hamli. “Bukan saya yang meminta supaya saya disekolahkan tinggi-tinggi. Jika saya tidak bersekolah dan tetap tinggal di kampung, dengan pengetahuan kampung, niscaya saya akan dapat pula menuruti segala adat istiadat Padang, yang jauh menyimpang dari adat bangsa-bangsa lain di dunia ini.”
“Lebih-lebih yang telah cerdik pandai, karena tak sesuai lagi pikirannya dengan pikiran orang Padang ini. Dengan demikian, sekalian kepandaiannya tak dapat dicurahkannya di negerinya sendiri melainkan akan jatuhlah ke tangan orang lain, yang lebih dapat menghargai kepandaian itu. Yang akan tinggal di Padang ini, hanyalah yang tua-tua, yang masih terikat aturan negerinya. Tetapi, mereka (red.tua) ini pun tak lama pula hidupnya; segera meningalkan bangsa dan negerinya. Siapa lagi akan mengurus negeri (red.Padang)? Ataukah akan menjadi seperti yang dikatakan orang Padang sendiri sekarang ini; Apabila dari “Minangkau”, minangnya telah keluar dari Padang ini, yang tinggal hanya ”kabaunya” lagi di negeri kita ini, untuk mempertahankan adat lembaga mereka …”, kata Hamli dengan kata-kata yang mulai kasar sehingga ibunya beberapa kali mengerling kepadanya, untuk menyabarkan.
‘”Jadi, pendeknya tak dapat kau menuruti permintaan kami?” tanya istri laki-laki yang benci kepada Hamli.
“Dengan sangat menyesal, saya ulang sekali lagi perkataan saya, tak dapat.” Sahut Hamli dengan pasti.
Setelah lulus sekolah, Hamli ditugaskan di Sumbawa kemudian ke Blitar. Peristiwa meletusnya Gunung Kelud yang telah memakan korban nyawa kira-kira 3.000 orang dan meluluhlantakan rumah serta harta benda turut menjadi kisah perjalanan hidup bersama anak dan istrinya. Akhirnya, Hamli harus pindah-pindah tempat kerja dengan alasan ini-itu. Kedatangan tentara Jepang, lalu tentara Inggris dan Belanda ke tanah Jawa, khususnya Semarang, turut menjadi kisah yang sangat memilukan untuk keluarganya.
Sebagai lulusan pertanian, tenaga Hamli sangat dibutuhkan oleh pemerintah. Berhubung dengan kesehatan badannya, terpaksalah pemerintah memberhentikan Hamli dengan ucapan terima kasih atas segala jasanya dan memberinya pensiun setinggi-tingginya.
Sejak saat itu Hamli tinggal dan beristirahat dengan keluarganya di Salabintana Sukabumi. Tatkala usia perkawinannya dengan Din Wati genap lima puluh tahun, dikumpulkannya seluruh anak-cucu, kemenakan dan menantu, kaum kelurga, sahabat, dan kenalannya, untuk memeringati dan merayakan hari yang amat penting baginya itu, dengan mengesahkan bahwa perjodohannya dengan Din Wati adalah jodoh sejati yang ditakdirkan Tuhan.
Tema
Tema yang tersirat dalam novel Memang Jodoh ini adalah tentang percintaan dan perjuangan dalam mempertakankan tali cintanya terhadap peraturan adat suku Padang. Hal itu dapat dilihat dari keteguhan cinta Hamli an Din Wati yang saling mencintai dan masing-masing tak ingin dimadu.
Kelebihan
Buku Memang Jodoh adalah cara penulis untuk memprotes anjuran poligami dari keluarga Padang. Buku ini menggambarkan bagaimana keras hati penulis dalam menentang poligami. Tapi disampaikan dengan cara santun. Buku ini sudah dibuat lebih dari 50 tahun yang lalu. Tepai baru boleh diterbitkan setelah orang-orang yang terlibat di dalamnya meninggal dunia. Penulis tidak ingin menyakiti hati keluarga di Padang. Sudah barang tentu, suasana dan adat di Padang dewsa ini tidak lagi selayaknya 100 tahun yang lalu. Dalam buku ini semua nama sudah disamarkan. Karena ditulis lebih dari 50 tahun yang lalu, bahas Indonesia yang digunakan dalam buku Memang Jodoh sejatinya tidak lagi sama dengan bahasa Indonesia yang digunakan saat ini. Namun, masih sangat nyaman untuk dibaca. Sambil mengenang kembali bahasa Indonesia dalam tatanan lama yang baik dan benar.
Kekurangan
Bagi yang tidak paham bahasa dari tanah Padang, ini akan menjadi kesulitan. Mengenai struktur atau silsilah garis keturunan adat Padang juga menjadikan harus sedikit berpikir untuk menggambarkannya. Karena itu berbeda dengan yang di Jawa. Ane sebagai orang Jawa sedikit ewuh untuk memahaminya. Namun, kisah cinta dan kehidupan yang penuh dengan perkara kawin membuat ane terus terpaku dan memelototinya untuk menghabiskan lembar demi lembar. Hehe.

***
Dan akhirnya, selesai juga resensinya. Setelah terkatung-katung beberapa bulan, sekarang bisa ngeshare ini cerita dan sedikit mencurahkan … #ups. 
Dari sekian buku yang menjadi rekomendasi, akhirnya tanpa ada unsur kesengajaan ane pilih buku “Memang Jodoh” dan dua buku lainnya dari sudut rak buku Gramedia. Setelah ane baca, sepertinya ane sudah mendengar cerita itu dari nara sumber (anak negeri Sumatra Barat). Ah! Itu hanya kebetulan saja, pikir ane. Dia biarlah menjadi dia, bukan Marah Hamli yang berani menerjang adat sukunya yang “istimewa” itu. Thank you for the story of the past… And now, I hope you're happy with your love :) 
Untuk mengetahui ceritanya secara utuh, silahkan membeli di toko-toko terdekat. Ini hanya sekelumit cerita yang terpenggal-penggal. Selamat membaca… :*

Jumat, 04 April 2014

Dady=ayah (ku)



Terekam jelas,, sisa-sisa cerita tujuh tahun yang lalu.. tepatnya 5-4-2007.
Dan detik #5_april ini, aku ingin mengenangnya, menggambarkannya dalam sketsa singkat di lembaran ini. Tujuh tahun yang tak pernah terlupa, entah sampai kapan. Mungkin sampai detak jantung dan desah nafas ini tiada lagi. Mati.

Dia-lah ayahku. Setiap detik dan menit, aku hanya bisa berharap semoga beliau tenang dan bahagia di sisi Allah swt. Aamiin…
Itu semua sudah menjadi skenario-Nya, tak perlu disesali, disedihi, atau dijadikan pelemah dalam hidup. Tapi jujur, aku merindukannya ya Allah… :*
Saat itu, tanpa merasa aneh, aku berpamitan ama ayah sebelum berangkat sekolah. Aku lihat ayah masih seger buger. aku mencium tangannya yang kasar tapi begitu hangat. Waktu itu jatuh di bulan april, ya bulan Ujian Sekolah untuk anak-anak SMA kelas 3. Itulah terakhir kalinya, aku melihat mata ayah berkedip, cium hangat tangannya, dan … suaranya. Aku rindu itu semua ya Allah… :(
Seperti hari sebelumnya, Ujian terlihat tenang. Begitu juga diriku saat itu, sibuk membolak-balikkan soal ujian yang sedikit mengalami kesulitan. Kalau tidak lupa saat itu ujian PPKn atau sosiologi, yang jelas aku mengaku lupa tentang mata pelajaran saat itu. Tapi tidak lupa untuk senyum ayah. :*
Sekitar pukul sembilanan, terasa ada yang ganjil. Wali kelas kesayanganku mendekatiku yang sedang duduk di barisan empat dari depan. Sambil pasang wajah terkejut, sang guru mengatakan kalau ayah sakit. Sakit apa coba? Pagi tadi ayah masih sehat wal afiat. Lagian ayah tidak punya riwayat penyakit. Sakit pun paling masuk angin, kalau sudah dikeroki, angin udah kabur, sembuh deh. Ada yang aneh! Pikirku dalam hati.
“Gimana, mau pulang atau lanjut?” tanya ibu faizah, wali kelas yang baik hati dan tidak sombong.
“Lanjut saja bu, bentar lagi selesai”, jawabku ragu sambil meneteskan air mata.
Ibu cantik itu masih berdiri di sampingku. Melihat air mataku yang terus saja mengalir tanpa henti. “Nanti ikut ujian susulan gpp”, ucap guru berkerudung itu seolah-seolah membujukku supaya segera pulang.
Aku mengangguk ringan lalu meninggalkan ruangan bersama kegelisahan. Mungkin sebagian temanku yang berada di ruang sebelah sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ketika aku keluar, mereka langsung gaduh.
Ada tetanggaku yang sudah menunggu di atas motornya. Aku semakin dibuatnya bingung, cerita konyol apa ini!? “Bapak sakit apa mas?” tanyaku kepadanya.
“Ya, nanti dilihat dulu..” mungkin jawabannya seperti itu. Suaranya yang sengaja dibuat lirih semakin membuatku bingung.
Aku terdiam selama perjalanan, sambil mengira-ira, “ayah sakit apa ya?”
Tepat, ketika sampai di belokan arah ke rumah, kursi panjang berada di tengah jalan. Kalau ada tanda seperti itu biasanya sedang ada perbaikan jalan atau ada orang hajatan. Ah! Pikiranku semakin kacau. Motor terus melaju, dan apa yang terjadi memang terjadi. Suara lantunan doa terdengar, banyak orang yang berkerumunan di depan rumah. Dan… aku melihat ayah tertidur pulas di atas dipan. Ayah tak lagi mengenalku. Ayah tak lagi mampu tersenyum atau bahkan memandangku. Sehelai kain telah menutupi sekujur tubuhnya yang kecil.
… Dan aku tak tau lagi harus berkata apa saat itu. Aku melihat ibu menangis tanpa henti. Ibu meronta-ronta menahan duka dan sedihnya yang amat dalam. Adikku yang saat itu masih sekolah, belum sampai. Setelah si adik datang, ia pun tak kalah sedih. Semua kacau balau saat itu!!! Aku tak bisa menggambarkan betapa perihnya semua tubuh ini saat itu. Hancur lebur!!!
Singkat cerita, ayah jatuh di beranda rumah. Beliau dilarikan ke puskesmas terdekat tapi tidak tertolong. Ibu yang saat itu kerja juga tak tau sebab musababnya. Tuhan sudah merencanakan itu semua sebelumnya, biarlah hari ini dan juga hari esok, selalu Tuhan yang merencanakannya. Dia-lah Tuhan, Allah swt yang tiada sekutu bagi-Nya.
Bla-bla-bla ……. Itu cerita duka saat itu!
Ayah, aku harap kau tenang di sana. Allah maha Pengasih, Penyayang, dan Pemurah. Maafin semua kesalahan dan kekhilafan ayahku ya Allah…. 

….
Tuhan tolonglah sampaikan
Sejuta sayangku untuknya
Ku terus berjanji
Tak kan khianati pintanya
Ayah dengarlah betapa sesungguhnya
Ku mencintaimu
Kan ku buktikan ku mampu penuhi maumu
….
Kalau pengen lihat wajah ayahku, lihat aja bapak Amien Rais. Mirip bingiitt lhoo… senyumnya, matanya, bentuk kepalanya, dan tinggi badannya. Ya begitulah beliau… kalau liat pak Amien di Tv, kadang suka nangis sendiri. Hehe #cengeng ya.
Sayang, ga ada foto ayah. Ada, tpi udah pada luntur. Huhuhuuu…

“I believe God has a wonderful plan after it all, the father... Aamiin ya Rabbal allamiin
I LOVE U DAD!!! Muach muaaccchhh :* :*

Your daughter, Dad
Zulaikhah^^ 

Minggu, 09 Februari 2014

Kereta Senja, (13-Jan-14, 18.16 am-pm)



Sudahlah. Ini hanya perkara mudah. Karena ini bukan tragedi yang membumi hanguskan seperti di Hirosima-Nagasaki. Tapi cukup ya, Tuhan? Jujur, semudah apapun perkara itu, bekas tetap saja ada. Dan butuh waktu jika ingin menghapusnya, tidak hanya dengan memejamkan mata atau membuang nafas kuat lalu melebur, hilang, musnah terbawa angin tanpa bekas dan tak terlihat. Memang, dari awal sudah terasa aneh dan tak masuk akal. Tapi, ya, namanya akal masih saja terbuai oleh “akal-akal” itu. Dan sudahlah!
Kereta itu terus melaju, meninggalkan asa-nya yang di belakang.
Laut biru itu harus terus berombak.
Kereta tua itu harus terus menderu, menyayat-nyayat.
Dan cerita itu, harus aku nikmati, ending-nya.

Senang, dengan skenario-Mu, Tuhan. Tak bisa dipungkiri toh semua sudah terjadi. Tak mengapa, aku juga tak ingin berbuat apa-apa. Yaahh,, setidaknya aku belajar banyak darinya. Tentang arti kesetiaan, yang mudah-mudahkan bener itu sebuah kesetiaan sejati. Bukan karena lagi ini-itu, bukan pula karena lagi begini-begitu. Dan, di sini aku juga ingin bercerita sedikit. Cukup sedikit, karena memang yang terjadi cukup sebentar, dan dalam durasi yang teramat singkat. Tentangnya, bersamanya, dan apalah namanya yang dulu pernah ada dirinya.
Sebenarnya tak etis jika harus menceritakan yang tak lagi menjadi haknya. Hmm memangnya kau pernah menjadi “hak” ku?? Oh, maaf, aku revisi bagian yang mengenai “hak”. Kau cukup menjadi “orang biasa” ku saja, jauh dari “hak atau apalah namanya”. Hehe. Takut terlalu besar kepala saja. Memang dari awal tak pernah menginginkan cerita ini terjadi. So, biarlah aku menganggap cerita bersamamu hanya sebuah pertemanan biasa saja, tak lebih.
Awalnya, aku tidak tahu apa maumu? keinginanmu? dan tujuanmu? Aku cukup mengenalmu biasa, dan sungguh amat biasa. Tuhan, jika ada lorong waktu, aku ingin “biasa” itu tidak berujung seperti ini dengan rasa “luar biasa”. Tapi, Ah! Percuma. Aku harus melanjutkan cerita ke depan, bukan memprotes cerita yang lalu. So, next… and forget it!
Kau pintar bener, dan bener juga jika “Laki-laki itu emang buaya, tapi perempuan punya air mata buaya.” Tapi, aagggffrrrrhhh…!!! Aku tak suka dengan bait kedua. Hufh! Wanita memang pintar berpura-pura, tapi bukan untuk urusan rasa yang sudah terpatri di jiwa. Kenapa terlalu dini menyimpulkan seperti itu? Agaknya kau belum belajar banyak tentang wanita yang sesungguhnya. Tapi kenapa juga kau, kau, dan kau… sungguh pintar, mampu membuatku terkagum. Ingat, hanya sempat, semoga tidak berlanjut dan berkepanjangan. Semoga.
Dan sudahlah! Jika rasa sudah tercipta, mau gimana lagi coba? Hehe. Al hasil, beginilah “sendu sedan”. Cukup jul! Iya cukup, singkat cerita harus diakhiri segera, karena sudah JATUH TEMPO. Setelah 1-feb-14 itu, detik itu, yang aku tahu, kau langsung membisu. Dan itu sudah memberi jawaban yang jelas, kau tak lagi membutuhkan “cerita ini”. Karena ada kisah lain yang harus kau lanjutkan. Seperti kereta senja itu, yang terus melaju melanjutkan rutenya dengan segera.
Alhamdulillah… ikut berbahagia jika skenario-NYA berakhir dengan indah. Kau bersamanya, untuknya, dan jodohnya. Aku baik-baik saja, bener. I’m fine, sayang. Yang patut disayangkan, kenapa tidak ngomong baik-baik, “datang Assalamu’alaikum, pulang wa’alaikumsalam”. But, nevermind sayang. It’s Ok.

Kreta itu terus menderu, melanjutkan perjalanannya... hingga sampai ke ujung, di antara batas kota. Dan ombak itu masih berduyun-duyun menggempur pantai, dengan egois. Begitu juga hujan, telah mendinginkan rasa ini, membeku. Kau dengannya, semoga menjadi bagian dari kisah cinta sejati. Meski sedikit ada cacat di dalamnya, dan aku tau itu. Terimakasih, ada ceritamu di jalan hidup ini, dan coretan usang ini. Aku juga sempat meminjam namamu, untuk cerita tak bermakna, dulu itu. Hanya satu hal yang ingin ku ucap. Aku tidak menyukai “akhiran” seperti ini. Apapun akhirnya, pertemanan itu harus tetap terbina. Bukan kebencian, atau keegoisan yang merasa tak bermasalah seperti ini. *jeruk Jambi
Aku tidak menyesal, tidak punya membenci. Di sinilah duniaku, bukan di belahan bumi sana. Bukan pula bersamamu. Aku senang, kau pernah mengenalku, apa adanya. Semoga kau tersenyum bahagia, bersama cinta sejatimu. Aamiiin ya Rabb...


00.17, Byl, 7 feb 14
*Sapi-byl




Senin, 16 Desember 2013

Cerpen: Satu Detik



Satu detik, dua detik, aku masih berpikir. Sampai berubah menitpun mataku masih jeli menatap layar monitor, polos. Cukup lama.Mungkin karena aku sudah lupa bagaimana membuat alur cerita atau memang sedang tak ingin membuat cerita yang mengada-ada. Oh Tuhan! Terlalu naif jika aku tak mampu menulis deretan kisah yang selalu berputar-putar di kepala.
Dan menit pun bertumpuk menjadi deretan waktu yang panjang, jam. Aku masih termangu, berusaha mencari, mengumpulkan, menghias cerita yang sebenarnya tidak menarik. Tapi baiklah! Kali ini aku harus memaksa jari lentikku ini menari lincah dan memutar otak untuk menceritakan apa yang sebenarnya tidak terjadi dan tidak pelu terjadi. Ini hanya kisah fiktif, kawan! Cekidot :)
***

Angsana kuning
Entah sejak kapan, aku lupa,gadis ayu nun rupa itu selalu datang di tengah mimpi malamku. Dulu sekali, aku hanya melihatnya sekilas ketika sedang melakukan aksi di depan kantor rektor. Ia mengenakan baju biru lembut dan jilbab yang menutupi mahkotanya. Tampak cantik sekali. Sebagai mahasiswa baru, waktu itu, aku hanya ikut berteriak menuntut kebijakan kampus yang tidak masuk akal. “Tuntut Deno! Tuntuuuttt!!!” Semua berteriak, serentak. Wajah-wajah nanar saling bertatapan. Coretan-coretan di karton pun diangkat tinggi-tinggi sebagai wakil tuntutan kami.
Yang aku tahu, Deno adalah aktor penyebab tersendatnya bangunan gor kampus yang sudah bertahun-tahun mangkrak tanpa jelas juntrungnya. Ia-lah pengatur sistem keuangan dan pengepul dana hibah dari berbagai pihak. Dan ia juga lah yang mengatur masterplan pembangunan kampus. Tapi, tak satu pun programnya yang berjalan dengan baik. Demi Deno, kami menuntut dan berteriak hari ini.
Terik mentari yang menampar punggung tak membuat kami menyerah.Terus saja berteriak tanpa jeda. Namun sayang, teriakan itu berakhir sia-sia. Tak satu pun penggede kampus yang terlihat batang hidungnya. Mereka seperti seekor tikus yang bersembunyi dari kejaran kucing jalanan yang rakus. Hanya satpam-satpam yang bersikap sok bijak itu yang berusaha menenangkan kami.
Mahasiswa yang berlalu-lalang pun tiada peduli dengan apa yang terjadi. Mereka seolah acuh, membuang muka, masa bodoh dengan tikus-tikus berdasi yang berkeliaran di kanan-kirinya. “Tuntuuuttt!!!” suara bersahutan sambil meninjukan kepalan ke udara, serempak. “Tuntuuuuuttt!!!” suaraku lantang, gemas sekaligus kesal.
Aku membuang nafas panjang, sia-sia. Setiap aksi yang terjadi hanya menjadi hiburan bagi mereka-mereka. Itulah yang aku rasakan sampai detik ini. Seakan usaha untuk menegakkan keadilan dengan cara itu sudah tidak manjur, tertelan zaman. Beda sekali ketika masa reformasi, lima belas tahun silam. Sekarang, semua orang acuh, apatis.
Gadis itu berhenti, melihat aksi-ku. Tidak banyak yang ia lakukan.Ya, ia cukup melempar senyum tenang dari jarak lima meter. Lalu kembali melanjutkan langkahnya. Aku sempat menoleh kearahnya, namun sayang, hanya terlihat punggungnya yang mulai mengecil, meninggalkan.
Itu empat tahun yang lalu. Empat tahun yang cukup lama untuk menyimpan banyak Tanya. Siapa gadis anggun itu? Dari fakultas apa? Dan siapa namanya? Ia seperti pelangi yang tak pernah terlihat disepanjang musim kemarau. Begitu langka di antara para gadis kebanyakan.
Aku menghembuskan nafas kuat. Menyelonjorkan kaki di bawa meja, ruang baca, di perpustakaan. Satu persatu halaman buku yang sejak satu jam lalu-ku cengkeram kini mulai menipis. Lalu-lalang mahasiswa semakin banyak, namun suasana tetap tenang dan kondusif. Udara yang berhembus dari balik jendela membuatku betah berlama-lama menghabiskan tumpukan-tumpukan buku yang sudah lama mengantri, sabar.
“Eh! Ni abang yang suka aksi di depan kantor rektor, bukan ya?” suara lembut itu menghentikan bacaanku. Aku berpikir sejenak, “Hmm iya,,” menoleh, menyelidik wajah yang menyembul tiba-tiba di depan mataku.
“Raisa.”Ia menjulurkan tangan.
“Panggil aja Bang Say.”Tanganku menyambutnya, bersalaman. Seketika nafasku tertahan untuk beberapa detik. Mengingat peristiwa empat tahun silam dan juga gadis dalam mimpiku. Benar! Ini senyum yang telah lama aku nantikan. Senyuman manja yang tertunda oleh waktu yang cukup lama. Dan sekarang, senyum simpul itu terlihat jelas di depan mata. Hanya berjarak tak lebih dari lima jengkal. Rasanya seperti turun hujan setelah tujuh tahun dilanda kemarau, mengerikan.
Raisa mengangguk, senyum ramah mengembang lagi.
Lesung pipinya. Aku pernah melihat lesung pipi itu di dalam mimpi. Namun, di dalam mimpi ia tampak murung, tidak seperti sore ini. “Ah! Itu hanya mimpi,” tepisku segera membuang firasat buruk.
            Aku masih tertahan, salah tingkah sambil berusaha menguasai diri. Antara terkejut, bingung, dan senang, menyatu. Aku pun mengatur nafas.
“Abang, bukankah aksi itu percuma dan kuno?”Ia mengawali pembicaraan, memecahkan keheningan. Aku menarik kursi, membenahi posisi duduk. Ia lebih dulu duduk dengan posisi yang nyaman sambil menatapku, ingin tahu.
Aku tertawa samar, “Apapun hasilnya, setidaknya itu akan membuat mereka terpojok.”jawabku sekenanya sambil berusaha memasang wajah semanis mungkin. Masi belum percaya gadis yang selama ini aku tunggu, aku cari, bahkan hadir di dalam mimpi tengah duduk memandangku antusias. “Dan kau jadi tahu, bukan? Apa yang terjadi di kampus tercinta ini?” Kali ini aku tertawa menggoda. Berusaha mencairkan suasana tegangku sendiri. Raisa pun ikut tertawa kecil.
“Iya deh! Salut buat aksi-aksinya.” Raisa mengacungkan kedua jempolnya. “Aku duluan bang, sudah ditunggu teman di luar.” Ia menarik tubuhnya dari kursi. Membenahi beberapa tumpukan buku yang beberapa menit lalu diambilnya dari rak untuk dilaporkan kepada petugas perpus, lalu berlalu sebelum aku bertanya balik kepadanya.
“Oke, silahkan!” aku mengangguk. Dan Raisa kembali tersenyum sebelum benar-benar meninggalkan kursinya. Aku sungguh mengingat senyuman itu. Bibir tipis berbalut lipgloss merah lembut beserta lesung pipi yang nyaris tiada duanya di dunia ini. Raisa pergi meninggalkanku dengan segala tidak kepercayaanku atas hadirnya, sapanya, dan senyum lembutnya.
Seketika kembali sunyi.
Aku pernah mendengar dari beberapa mahasiswa. Raisa adalah gadis yang tertutup. Di antara puluhan laki yang ingin mendekatinya, tak satupun yang bisa meraih isi hatinya. Raisa hanya bergaul dengan anak-anak perempuan. Mungkin sebentar lagi aku akan menjadi salah satu bagian dari puluhan laki-laki sia-sia itu. Tak mampu mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di dalam hidup gadis itu? Karena aku sendiri bukan tipe laki-laki yang romantis apalagi penakluk wanita. Aku terlalu sibuk dengan tumpukan buku, isu-isu kampus bahkan negara yang terus saja menumpuk seperti sampah yang bau busuknya semakin merajarela.
Memang. Aku kadang iri dengan mereka yang menghabiskan waktunya untuk bermain ke sana-kemari bersama kekasihnya. Mengukir kenangan manis, menyumet lilin di malam remang hanya untuk sekedar dinner atau bercanda. Aku bukan mereka yang bisa mencintai wanitanya sepanjang malam, jam, menit, maupun detik.
Dan malampun menjemput. Satu dua orang mulai mengisut meninggalkan perpus yang luas, penuh dengan deretan buku yang membisu. Bagi mahasiswa semester tua, malam bukanlah hal yang menyeramkan ketika harus duduk di perpustakaan seorang diri. Justru, kebanyakan mahasiswa yang telah usia lanjut sering menghabiskan waktunya berlama-lama di perpus sampai benar-benar ada petugas mengusirnya.
Kali ini, aku pun mengalaminya. Diusir, karena jam jenguk perpus sudah habis.
***
Pagi ini masih terbungkus embun, rapat. Baunya tercium mesra berkat semilir angin yang berhembus pelan. Dahan-dahan palm di sepanjang jalan menuju area parkir fakultas komunikasi bergerak lembut menyambut kedatanganku. Angin itu menggoyangkan daun-daun penuh kelembutan. Seperti penari jawa yang melenggangkan badan, menggerakan sampur penuh kehati-hatian, namun penuh dengan makna. Atau seperti seorang kekasih yang membelahi lembut rambut gadisnya.
Aku meletakkan beberapa tumpukan stopmap yang berisi revisian skripsi di kursi, samping area parkir, yang biasanya dijadikan tempat anak-anak nongkrong. Mataku menyelidik, membuka lembaran revisian yang di corat-coret dosen tua renta tapi tetap saja aku mengidolakannya. Menurutnya demokrasi yang selama ini diagung-agungkan masih menjadi isapan jempol. Di tengah euforia demokrasi terdapat setumpuk kegelisahan. Mungkin benar apa yang dikatakan Ronggowarsito, jamane jaman edan yen ora edan ra keduman. Semua akan berebut kekuasaan tanpa pandang bulu. Yang gila semakin menggila, yang waras jadi ikut gila.
“Gila! Mau tidak mau aku harus selesai minggu ini.” Mataku terbelalak membaca pesan singkat Nano. Pendaftaran wisuda habis di bulan ini. Aku menelan ludah, memastikan semua akan berjalan lancar sebelum spanduk pembayaran semester depan terpasang di setiap pintu masuk fakultas. Aku mendesis penuh harap.
“Abang, bisa minta tolong?” suara perempuan tiba-tiba terdengar samar. Aku menoleh, melihat gadis kemarin sore itu kembali berdiri di sampingku. Benar-benar pagi yang gila. Kabar dari Nano sekaligus kedatangan Raisa yang tiba-tiba membuatku semakin gila.  Ia berdiri tiga jengkal dari mata telanjangku.Terlihat cantik, sempurna.
Aku masih menoleh, ““Eh! Iya Raisa, ada, ada  yang bisa abang bantu?” suaraku tergagap. “Duduk dulu,” pintaku cepat sambil memindahkan tumpukan stopmap ke atas pangkuanku.
“Raisa boleh minta pulsanya, buat sms emak di kampung, ga bang?” katanya tanpa basa-basi. Terlihat setumpuk kesedihan di raut wajahnya. “Counter masih pada tutup bang.” Lanjutnya manyun. Aku mendengarkan, takzim. Menatap bibirnya yang melengkung ke atas. Tapi tetap saja tak ada yang berkurang dari kecantikannya. Siapa yang tidak terpikat oleh gadis secantik Raisa? Melihat bibirnya mengembang saja sudah tak karuan rasanya. Apalagi dimintain bantuan di sepagi ini, dimana belum terlihat dosa-dosa yang berkeliaran. Nafasku mendesis, senang.
“Ini-ini. Pulsa abang masih banyak.” Raisa mengambil alih ponsel jadul dari tanganku. “Emak di telpon aja, biar bisa dengar suaranya.” Pintaku bijak.
“Terima kasih bang, sms aja.” Sahutnya cepat lalu sibuk mengetik ponsel milikku.Ia tampak serius. Tak terlihat lesung pipinya, mata bulatnya yang berbinar. Hanya terlihat bibirnya komat-kamit mengeja setiap kata, di layar ponsel.
Untuk sekian menit, hening.
“Sudah bang, Raisa duluan ya.Terima kasih sekali lagi.” Terlihat ada kesedihan di sorotan mata indah itu. Begitu ketara.
“Iya Raisa, hati-hati di jalan.” Balasku berusaha memahami isi hatinya. Aku terdiam sepanjang Raisa masih terlihat punggungnya.Ia berjalan tergesa. Entah apa yang sedang menimpa perasaannya. Siapa pula yang merenggut senyum renyahnya? Untuk sekian menit, aku berusaha mencari jawab lewat gelagat ganjilnya. Sambil garuk-garuk kepala, aku melangkah meninggalkan bekas duduk Raisa untuk menemui sang eksekusi tulisanku.
***
Huuuuffffff….  Aku membuang nafas panjang berkali-kali. Setelah mengeksekusi skripsi yang sudah lama terkatung-katung akhirnya sekarang bisa bernafas lega. Sedikit ada pencerahan setelah selama berbulan-bulan bertapa di perpustakaan, lari sana- sini mencari data dan narasumber, hari ini terbayar sudah. ACC bab empat. Tinggal menghitung hari, out dari kampus ini.
Matahari pun agaknya tengah bersuka cita. Tidak seperti biasanya yang terlihat muram, bersembunyi di balik awan kelabu. Sinarnya menembus rimbunan pohon angsana yang menjulang tinggi. Betapa indahnya hidup ini. Di warnai oleh maha karya Tuhan yang menakjudkan. Bunga-bunga angsana kuning berjatuhan, menyebar. Menutupi setiap ruas jalan. Seperti lautan kuning yang menggemaskan. Layaknya musim semi di Jepang. Bunga Sakura bermekaran di sepanjang jalan. Bagi penduduk Jepang, itu mempunyai arti yang sangat luar biasa. Ya, mekarnya kuncup-kuncup bunga berwarna putih dan pink adalah awal masa depan yang cerah yang penuh dengan pengharapan. Selain itu bunga sakura memiliki makna tentang kehidupan yang hening, sejuk, bahagia dan tenang. Bunga ini juga bermakna akan sebuah perpisahan, yakni ketika bunga-bunga yang menawan itu mulai berguguran.
Pandanganku mengeliling, melihat hamparan jalan yang menguning, terinjak-injak oleh ratusan kaki yang hilir mudik mengejar waktu di kampus ini. Tiba-tiba, aku teringat Raisa.
“Mak, maafin Raisa ya ga bisa membuat emak bahagia. Sampekan salam buat bapak, nanti jam tiga Raisa ke luar negeri ada study of change. Untuk perjodohan itu, sebaiknya ditunda dulu sampai Raisa benar-benar bisa melupakan Bang Topan. Terima kasih mak, doakan Raisa baik-baik saja.”
Mataku terbelalak. Membaca pesan singkat itu berkali-kali. Aku berusaha mencerna apa yang sedang menimpa gadis cantik itu. Keluar negeri? Itu berarti ia tidak hanya meninggalkan emak, Topan, dan calon jodohnya, tapi  Raisa juga akan meninggalkanku. Menghilang begitu saja sebelum aku benar-benar mengenalnya. Belum tahu apa kesukaannya? Apa hobinya? Warna favoritnya? Dan apa yang membuat ia menjauhi laki-laki selama ini. Ah! Topan? Siapa Topan? Sejauh apa hubungannya dengan Topan hingga tidak menginginkan perjodohan yang digelar keluarganya. Seberapa penting laki-laki itu dalam hidupnya? Aku mengbuang nafas, percuma.
“Sebelum terlambat, aku harus menemukannya.” gumamku lirih, bangun dari duduk, meninggalkan kebebasan yang baru saja aku nikmati. Aku berlari kecil, mencari jejak keberadaan Raisa. Bertanya ke beberapa mahasiswa yang melintas di depanku. “Oh Tuhan! Bodoh sekali diriku. Gadis yang telah menemani mimpiku selama ini akan pergi. Bodoh!!! disaat ia menghampiriku tanpa aku minta, aku tak memanfaatkannya dengan baik.” Gerutuku, menyumpahi. Sampai mentari benar-benar tenggelam, lelap dalam pangkuan, aku tak menemukan keberadaan gadis rupawan itu. Menyesal.
***
Tak ada yang spesial di hari ini. Kecuali tadi pagi, bab terakhirku sudah di ACC oleh kedua pembimbing. Antara senang karena PR-ku di kampus ini hampir selesai, namun juga sedih kehilangan orang yang aku puja selama ini, Raisa. Aku menatap monitor lipat, tanpa ekspresi. Kegalauan sedang menimpaku siang ini. Entah, di luar sana matahari juga turut berduka atas perasaan ini.
“Tidak mungkin kalau aku menghubungi nomer emaknya Raisa. Itu hanya akan menambah masalah. Karena aku belum mengenalnya.” Pikirku dalam hati, melamun. “Tapi, dimana aku harus  menemukannya?” Tanganku mengusap wajah, pasrah.
Di luar, rintik lembut menyambut kegelisahanku. Begitu juga perpustakaan, hari ini terlihat lengang, seperti acuh atas kesedihan yang menimpaku. Mungkin saja detik ini para pengunjung perpus ingin bersantai menikmati gerimis bersama kekasihnya. Saling bermanja dengan diiringan gerimis lembut di emperan, di rumah makan, atau nonton bioskop romantis. “Satu detik, aku telah kalah. Kehilangannya untuk selama-lamanya.” Gumamku lemah.
“Abang?”
Suara itu menyentakkan. “Raisa???” menoleh ke arahnya tanpa berkedip. Aku mencubit pahaku, berusaha meyakinkan kalau gadis itu benar-benar gadis yang membuatku kalang kabut. Aku terhenyak, berdiri, lalu mempersilahkannya duduk, di depanku, tepat di sebelah jendela perpustakaan, lantai tiga.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanyaku basa-basi mengawali, masih terkejut.
“Hanya ingin bersantai sejenak saja, bang.” Balasnya berusaha menutupi pilu. Ia melempar senyum simpul. Seakan memamerkan dirinya sedang baik-baik saja. Ia menaruh beberapa buku di meja. Terlihat buku warna kuning langsat, Siti Nurbaya karya Marah Rusli.
“Oohh!” aku mengangguk ringan sambil melirik tumpukan buku di depannya. Berusaha menerima jawabannya, yang sebenarnya jauh dari keadaan yang aku lihat sekarang ini.
“Abang sendiri?” tanya Raisa menyelidik.
“Hah? Aku?” spontan telunjukku menuding hidungku, diikuti bola mata membulat. Raisa mengangguk. “Ini sudah menjadi salah satu bagian hidupku, duduk termenung seorang diri.” Jawabku sedikit melampiaskan kesepian yang selama ini telah membelenggu. Aku tersenyum getir mengakhiri.
“Iya, aku tau itu. Aku sering melihat abang duduk di sini. Hanya saja, maaf, aku tidak pernah menyapa abang.” Raisa menunduk merasa bersalah.“Abang saja yang terlalu acuh dengan orang-orang yang berkunjung ke sini. Abang sudah terhipnotis oleh lembaran-lembaran tulisan para tokoh nasional maupun dunia. So, i don’t want to disturb you.” Lanjutnya jujur dengan ekspresi kesal karena keegoisanku.
Aku menyengir sambil mengibaskan tangan. “Ah! Itu hanya sebagian kecil yang kau tahu dariku.”
“Hmmm, abang kenapa tidak mengajak teman atau pacar ke sini? Mungkin akan lebih hidup lagi.” Raisa menatapku, serius. “Eh! Maksudku, jika ada point penting yang perlu didiskusikan, kan enak kalau ada temannya, bang.” Raisa tertawa malu sambil membenahi jilbab merah yang mungkin menurutnya sudah berubah posisi.
“Sekarang aku sudah bersama teman, atau bisa jadi calon kekasih.” Jawabku menggoda sambil tertawa lepas.
“Hmm gitu ya bang?” timpalnya cepat dengan ekspresi datar.
Begitu polos. Dan aku pun tertawa lebar memecahkan kesunyiaan siang itu.“Kau terlihat begitu takut mendengar ucapanku barusan?” Aku menyelidik. Berusaha membaca mimik wajahnya.
Raisa terdiam, cukup lama. Seketika tawaku terhenti, menggigit bibir. Terlihat ekspresinya begitu serius, antara ada luka dan terbayang-bayang masa lalu. Di saat seperti itu, aku ingin sekali memeluknya. Mencairkan hatinya yang sedang menggumpal setumpuk kesedihan.
Aku tersenyum simpul, “Are you oke?” memasang wajah simpatik.
 I’m fine, bang.” Balasnya datar, sedikit mengangguk.
Aku membuang nafas perlahan, “Syukurlah, tapi aku tak melihat Raisa di sini. Apa kau telah merenggut Raisa yang dulu. Raisa yang selalu tersenyum tulus? Apa kau bukan Raisa? Hah?” Aku memberondong pertanyaan dengan intonasi pelan, berusaha menjaga perasaannya. Menelangkupkan ke dua tangan di atas meja, sambil terus memandang semburat wajahnya yang terkesan ganjil.
“Maaf bang, sms yang Raisa kirim ke emak itu bohong. Abang pasti sudah membacanya?” Ia memandangku, sayu.
Aku mengangguk pelan,“lantas?”
Giliran Raisa yang membuang nafas, terdengar desisnya kuat. “Raisa belum bisa menggantikan nama Topan di hati Raisa. Topan harusnya jadi milik Raisa selamanya. Tapi….” Ia memutus ucapannya. Terlihat bulir bening keluar dari sudut matanya. “Topan hanya laki-laki kampung bang, menurut keluarga, dia tak pantas untuk Raisa. Dan Raisa ingin dijodohkan.” Ia menunduk, mengakhiri ceritanya.
Aku menelan ludah. Harusnya aku mengenalnya sejak dulu. Sejak pertama kali aku melihatnya, di depan kantor rektor. Mungkin saja dengan begitu, tidak akan ada perjodohan mapun Topan di hatinya. Topan? Laki-laki kampung? Ah! Menurutku itu sudah banyak kisahnya. Laki-laki kampung menikah dengan gadis cantik dan juga lebih tinggi pendidikannya. Asalkan laki-laki itu tanggung jawab dan membuat istrinya bahagia, kenapa harus dipermasalahkan. Dunia ini tak adil. Sedang Tuhan telah menciptakan keduanya bertemu, itulah yang seadil-adilnya.
“Abang, Maaf ya…” Raisa mengangkat wajahnya. Menatapku dengan bulatan mata sayu, merasa bersalah.
“Hmm,, kau berbohong mungkin karena kau terpaksa dan bingung tidak tahu apa yang harus kamu lakukan. Meskipun itu sebenarnya tetap salah.” Aku menangkap kedua bola matanya. “Ya,ya, ya, aku bisa memahami, dan tentu saja aku memaafkanmu.” lanjutku cepat sebelum ia berpikir lain.
Suasana kembali hening. Gerimis di luar terlihat sendu. Membasahi apa saja yang ditimpanya. Membuat jendela kaca mengembun, bisa dibuat ukiran kebahagiaan atau bahkan kesedihan sebagai pelampiasan sesaat. Aku mendesis kuat. Membuang wajah ke luar jendela.
Raisa tertawa samar. “Inilah kebodohanku, bang. Harusnya aku menurut saja dengan perjodohan itu. Tapi, mungkin saja aku tak mampu menjadi istri yang baik karena aku memang tak mencintainya. Dan hanya materi saja yang melimpah di depan mataku, bukan hati kecil ini.” Senyumnya masih terdengar getir.
Aku berusaha membaca apa yang sebenarnya Ia inginkan. Dengan membuat cerita bohong, lewat pesan singkat, di ponselku, itu berarti ia menginginkanku terlibat dalam permasalahannya. Aku mengangguk, berusaha membuatnya tenang. “Apa kau pernah mendengar kisah Siti Nurbaya?” aku sedikit melirik buku di depannya. Raisa mengangguk.
“Siti Nurbaya dijodohkan karena orang tuanya tidak mampu membayar hutang. Dan Nurbayalah yang menjadi jaminannya, menikah dengan Datuk Maringgih yang sudah tua renta.” Raisa mendengarkanku, takzim.
“Dalam masalah ini, kau bukan Siti Nurbaya. Orang tuamu mungkin saja tidak berhutang dengan keluarga calon jodohmu, hanya saja orang tuamu tak ingin kau menyesal dikemudian hari. Hidup dengan laki-laki, maaf, yang belum jelas masa depannya. Emak tak ingin kisah Siti Nurbaya yang dijodohkan karena sebuah hutang menimpa anakmu kelak.” Aku berusaha menjelaskan penuh takzim.
Raisa menarik nafas kuat, lalu membuangnya perlahan.
“Sudah saatnya kau mengambil keputusan. Tidak baik kalau kau hanya mengulur-ulur waktu, sedangkan kau sendiri tak tahu rencana Topan selanjutnya. Apakah Topan akan terus berjuang? Atau hanya akan mengikuti arus yang entah dimana muaranya.” Aku menyandarkan punggung ke kursi, merilekskan badan sambil terus memandang Raisa yang setidaknya terlihat lebih baik.
Suasana berubah khitmad. Hanya terdengar desah nafasku dan juga Raisa.
Raisa melirik jam tangan, “Terima kasih bang, Raisa akan segera mengambil keputusan. Dan sekarang Raisa ada urusan, duluan ya...” sambil bangun dari duduknya.
“Ooh, ya,,” balasku pendek, mengangguk pelan. Ia mengelap kedua sudut mata yang sembab. Lalu pergi, kembali meninggalkanku dalam kesepian.
***
Satu minggu berlalu. Semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Termasuk diriku. Memburu waktu yang sebentar lagi menggilas perjuangan panjangku. Terlambat satu detik, semua akan sia-sia. Dan aku harus mengeluarkan biaya lagi untuk semester berikutnya.
Namun, tidak. Aku mampu menakhlukkan sang waktu. Satu minggu yang sangat berarti. Semua berjalan seperti yang diharapkan. “Selamat ya Say,” ucapan itu terus membanjiriku siang ini. Tepat setelah aku keluar dari ruang sidang. “Terima kasih kawan,” balasku tulus sambil melempar senyuman paling manis sebagai hadiah untuk mereka yang membantu selama ini.
 “Astaga! Sudah lama aku melupakan Raisa. Dimana dia sekarang?” Tiba-tiba aku teringat gelagat cantik setelah tiada senyuman khas yang terlihat di antara orang-orang yang mengkhadiri persidanganku. Aku segera meninggalkan kerumunan, mencari sosok Raisa.
“Jangan sampai ia memilih perasaannya, tetap teguh bersama Topan. Jangan pula ia menerima perjodohan itu, karena aku lebih baik diantara keduanya.” Gemingku selama menapaki jalan dan ruas-ruas gedung. Aku berlari, memasuki, menelisik setiap ruang perpustakaan. “Ooohh Tuhan! Lagi-lagi aku menjadi laki-laki bodoh untuk urusan hati. Kenapa dari awal aku tak memberinya solusi? Bedebah!” Umpatku kesal. Membanting kepalan tangan ke atas meja, dimana satu minggu yang lalu masih melihat senyum cantik itu di sini. Ya, di kursi ini. Bersama gerimis sendu yang menyatu.
“Ada yang bisa dibantu?”
Suara khas itu terdengar samar.
Aku menoleh ke sumber suara, “Raisa?” Mataku berkaca-kaca. Menatapnya begitu lama, lalu menggeleng tak percaya.
Raisa tertawa lebar. “Abang ini kenapa?” Raisa memanadangku mulai dari ujung kaki hingga kepala. Lalu meletakkan tubuhnya di kursi, sama persis seperti satu minggu yang lalu. Sedang aku masih berdiri mematung, melihatnya seperti siluman yang tiba-tiba muncul tanpa peduli apakah yang disapanya punya riwayat lemah jantung atau tidak. Raisa melihatku tanpa merasa bersalah.
“Aku? Aku takut kehilangamu.” Jawabku jujur. Masih mematung.
“Duduk dulu, bang…!” pintanya, berusaha menenangkanku. Ia menelangkupkan kedua tangannya di atas meja, tertib. Seperti anak-anak SD yang diajar guru paling killerdi sekolahnya.Duduk sedeku, tenang, karena takut.
Untuk sekian kali, aku bernafas lega. Lega sidangku telah usai, dan lega melihat gadis cantik itu kembali menatapku tajam. Aku mengatur nafas, “Aku bingung mencarimu, Rais.” Ucapku setelah merasa tenang.
Raisa tersenyum, “Raisa belum mengambil keputusan, seperti yang abang sarankan seminggu yang lalu.” Ia seolah-olah tahu apa yang aku rasakankan selama ini, dan terutama untuk detik ini.
“Kenapa?” aku memasang wajah terkejut.
“Abang  tau apa yang seharusnya abang lakukan untuk Raisa. Jadi, sebaiknya Raisa menunggu abang, bukan Topan, maupun jodoh siapa namanya Raisa belum tau.” jawabnya dengan ekspresi penuh harap.
 “Hmmm, Apa kau akan menerima keputusanku?”
“Ya, karena itu keputusan Rais juga.” Balasnya yakin.
Aku mengangguk, “Baiklah! Aku bukan Topan, bukan pula jodoh siapa itu, tapi aku Sayuti ingin melamarmu sebagai pendamping hidupku.” Kataku mantap sambil terus menatap kedua sudut mata Raisa yang teduh.Cukup lama aku memandangknya. Raisa hanya terdiam, terpaku.
Aku meraih tangannya, “Aku tak ingin kehilanganmu lagi, walaupun satu detik saja. Apa kau percaya dengan ucapanku?” terus saja memandangnya.
Raisa mengangguk diikuti senyum khas yang mengembang di bibir lembutnya. Lesung pipinya terlihat jelas, kalau Raisa benar-benar tersenyum karena bahagia. “Raisa menerima pinangan abang siang ini dan untuk selamanya.” Suara lembutnya seperti mata air yang bergemerik di sela-sela perbukitan, begitu damai. Dan deretan rak yang mematung di setiap sudut ruang, menjadi saksi bisu, kisah cintaku detik ini dan untuk selamanya. Bibirku menyentuh lembut kedua tangan Raisa. Ooh begitu manis.

***TAMAT***

Ikhah Yuyule
Boyolali, 16 Desember 2013