Selasa, 17 April 2012

CERPEN: Tujuh Mawar Kebisuan



Senja kelabu menyelimuti langit kota Jogja. Langkahku semakin tergesa, menyusuri gang-gang di antara rumah-rumah tua ala Eropa, memburu matahari yang kian merapat ke peraduannya. Sore ini aku lupa membawa air minum untuk membasahi tenggorokan jikalau azan magrib berkumandang.
”Sssruuttttt...”, aku sedot es buah yang sempat ku beli di warung depan kantor, setelah sayup-sayup azan terdengar pelan. Tubuhku terhempas di lantai kost berukuran empat kali tiga, sebelum beranjak mengambil air wudhu dan mandi.
***
Rasa lelah menjalar keseluruh persendian. Tugas dari bos Jabrik untuk menyelesaikan layout majalah bahasa jawa menghantui benakku. Disela-sela lembur, suara kocak Rangga, penyiar radio Jogja FM menjadi teman setiap kesunyian malam menyerang. Sambil menggeser-geser mouse, sepasang bola mataku menatap ponsel di samping komputer dengan serius. Ingin rasanya jemariku berpindah, memencet huruf-demi huruf merangkai kata untuk Rangga. Menanyakan apakah kamu, Rangga, Abangku yang selama ini telah meninggalkanku? Mungkinkah Abang masih mengingatku? Tapi setelah perceraian itu, aku berniat tak mau mengusik dan merepotkamu lagi? Sederet tanda tanya berloncatan di kepala.
Ketika duduk di bangku SMP, ayah menikah dengan ibu Pasiyem, ibunya Rangga. Sedang Rangga sudah SMA di sebuah pondok pesantren di Solo. Akan tetapi belum ada dua tahun, pernikahan itu kandas setelah ibu Pasiyem memilih bekerja ke negeri seberang, dengan dalih gaji ayah yang hanya sebagai buruh pabrik tak cukup untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari. Abang. Sebutanku untuk Rangga membuat hubungan ini seperti saudara kandung. Meskipun dia jarang pulang dengan alasan tidur di asrama pondok, namun dia tak pernah lupa menanyakan keadaaan atau sekedar bertanya, sudah makan atau belum. Tubuhku yang kecil membuatnya khawatir kalau aku nanti tidak bisa tinggi, sepertinya. Dengan begitu dia tahu betul, apa yang aku suka, dan apa yang tidak aku suka.
Suara alarm jam duduk memecah lamunanku. Mataku mulai menciut, berusaha membelalakkan, menyelidik hasil layout. Suasana kamar menjadi hening, tak terdengar lagi cuap-cuap Rangga yang menggelitik. Rupanya sudah jam dua belas malam. Secara tiba-tiba benakku terbayang bos Jabrik dengan muka seram disertai otot-otot yang menegang, mata bulat melotot sambil berkacak pinggang, kalau saja majalah besok belum selesai, pasti bakal dicerca dan dibabat habis.
”Huuuuuhhhh..”, kepalaku menggeleng ngeri.
***
Pagi ini, langkahku sempoyongan menyusuri anak tangga menuju lantai dua. Kepala terasa berat, mata berkunang-kunang, semua bagian tubuh yang melekat terasa kaku untuk bergerak. Setelah menghadap bos Jabrik, menyerahkan hasil garapan, kepalaku tersungkur di atas meja komputer kantor.
”Yul. Ada kiriman bunga lagi untukmu!”, teriak Memey dari ambang pintu.
”Hemmm... taruh aja di meja”, sahutku tak menggubris. Kepala masih tiarap di atas meja.
”Kamu pakai mantra apa, penggemar rahasiamu bisa banyak seperti ini?”, selidik Memey cerewet.
Kebisuan menjawab pertanyaan Memey,  dan membuatnya enyah meninggalkanku. Tiga puluh menit, aku tertidur pulas tiada mimpi. Tumben tak ada yang mengusikku selama tidur, anak-anak kemana? Memey yang biasanya bawel juga tidak kelihatan batang hidungnya? Selidikku dalam hati sambil mengucek mata yang masih samar. Aku masih duduk termenung setengah sadar, menatap monitor yang masih menyala, lalu kepalaku memutar mengeliling, menyapu ruangan yang tak begitu besar. Sampai di titik pojok samping almari display terlihat tujuh tangkai mawar merah yang memenuhi gelas kaca, dan terdapat sedikit air di dalamnya. ”Siapa yang menaruh bunga di situ?”, gumamku terkejut.
Aku tak suka mawar, kenapa ada mawar di ruang kerjaku? Mungkinkah Memey atau Agus yang sengaja menaruhnya, agar aku menyukai mawar? Itu tidak mungkin, sebelumnya mereka tidak pernah mengatakan sesuatu? Kakiku melangkah menghampiri, berusaha menggapainya.
”Selamat pagi”, mataku mengernyit membaca tulisan yang menempel di setiap ganggang mawar.
”Eh. Sudah bangun?”, suara Memey yang cempreng menyentakkanku. Pundakku meloncat kaget.
”Tadi pagi ada yang ngirim bunga lagi untukmu”, sambil melangkah masuk, lalu bersandar di meja belakangku.
”Lagi?”, timpalku cepat sambil menoleh ke arahnya.
”Hu’um”, Mey mengangguk.
”Kamu tanyain dari siapa?”
Memey menggeleng cepat, seraya mengangkat kedua bahunya. ”Kirain kamu sudah tahu, makanya aku terima begitu saja. Lagian kan sudah tujuh hari ini”.
”Tujuh hari ini aku sibuk dikejar deadline. Apa yang aku kenakan, apa yang ada di ruang kerjaku, bahkan meskipun puasa, apa yang aku makan pun tidak aku hiraukan”.
Aku angkat gelas penuh bunga, lalu aku letakkan di atas meja, dimana Memey bersandar. Memey melihatku sambil menggeleng kepala.
”Kamu memang cewek aneh Yul!”, Mey mengibaskan tangan sambil berlalu melangkah keluar.
***
Selama tujuh hari ini, ada yang menyapaku lewat bunga. Mengucapkan selamat pagi. Kira-kira siapa yang mengirimnya? Aku hirup nafas panjang, menahannya beberapa menit lalu kuhempaskan pelan-pelan. Tubuhku terperosok di atas kasur yang tak empuk lagi. Sambil mendengarkan suara Fahmi, teman Rangga kala lagi On Air.
”Mas Rangga kemana, mas Fahmi?”, tanya Novel. Pendengar setia Jogja FM by phone.
”Mas Rangganya dapat beasiswa kuliah ke negeri Kanguru, Australia...”, terang Fahmi.
”Oh ya, buat para pendengar setia Jogja FM yang Fahmi sayangi...ini ada salam dan pesan dari Rangga buat cewek yang akrab dipanggil Yul, dengarkan semuanya.... Saya bacakan dengan seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya, ... meskipun kau tak menyukainya, biarlah selalu menghiasi...”.
Tubuhku kaku mendengar kalimat singkat itu. Terkejut dalam kebekuan. Mulutku menganga seraya menggeleng tak percaya. ”Aku menyayangimu lebih dari sekedar kakak, Bang...”, suaraku bergeming sambil berkaca-kaca. Bunga mawar merah tujuh tangkai, memang tak membuatku tersenyum senang, karena Abang tahu aku tidak menyukainya. Namun Abang tahu betapa aku menyukai angka tujuh. Karena perceraian itu kita berpisah, dan setelah kini kau hadir sejenak lalu pergi lagi meninggalkan tujuh tangkai bunga mawar dengan penuh kebisuan.