Satu detik, dua detik, aku masih
berpikir. Sampai berubah menitpun mataku masih jeli menatap layar monitor,
polos. Cukup lama.Mungkin karena aku sudah lupa bagaimana membuat alur cerita
atau memang sedang tak ingin membuat cerita yang mengada-ada. Oh Tuhan! Terlalu
naif jika aku tak mampu menulis deretan kisah yang selalu berputar-putar di
kepala.
Dan menit pun bertumpuk menjadi
deretan waktu yang panjang, jam. Aku masih termangu, berusaha mencari,
mengumpulkan, menghias cerita yang sebenarnya tidak menarik. Tapi baiklah! Kali
ini aku harus memaksa jari lentikku ini menari lincah dan memutar otak untuk
menceritakan apa yang sebenarnya tidak terjadi dan tidak pelu terjadi. Ini
hanya kisah fiktif, kawan! Cekidot :)
***
|
Angsana kuning |
Entah sejak
kapan, aku lupa,gadis ayu nun rupa itu selalu datang di tengah mimpi malamku.
Dulu sekali, aku hanya melihatnya sekilas ketika sedang melakukan aksi di depan
kantor rektor. Ia mengenakan baju biru lembut dan jilbab yang menutupi
mahkotanya. Tampak cantik sekali. Sebagai mahasiswa baru, waktu itu, aku hanya
ikut berteriak menuntut kebijakan kampus yang tidak masuk akal. “Tuntut Deno!
Tuntuuuttt!!!” Semua berteriak, serentak. Wajah-wajah nanar saling bertatapan. Coretan-coretan
di karton pun diangkat tinggi-tinggi sebagai wakil tuntutan kami.
Yang aku tahu,
Deno adalah aktor penyebab tersendatnya bangunan gor kampus yang sudah
bertahun-tahun mangkrak tanpa jelas juntrungnya. Ia-lah pengatur sistem keuangan
dan pengepul dana hibah dari berbagai pihak. Dan ia juga lah yang mengatur masterplan pembangunan kampus. Tapi, tak
satu pun programnya yang berjalan dengan baik. Demi Deno, kami menuntut dan
berteriak hari ini.
Terik mentari
yang menampar punggung tak membuat kami menyerah.Terus saja berteriak tanpa
jeda. Namun sayang, teriakan itu berakhir sia-sia. Tak
satu pun penggede kampus yang terlihat batang hidungnya. Mereka seperti seekor
tikus yang bersembunyi dari kejaran kucing jalanan yang rakus. Hanya
satpam-satpam yang bersikap sok bijak itu yang berusaha menenangkan kami.
Mahasiswa yang
berlalu-lalang pun tiada peduli dengan apa yang terjadi. Mereka seolah acuh, membuang
muka, masa bodoh dengan tikus-tikus berdasi yang berkeliaran di kanan-kirinya.
“Tuntuuuttt!!!” suara bersahutan sambil meninjukan kepalan ke udara, serempak. “Tuntuuuuuttt!!!”
suaraku lantang, gemas sekaligus kesal.
Aku membuang
nafas panjang, sia-sia. Setiap aksi yang terjadi hanya menjadi hiburan bagi
mereka-mereka. Itulah yang aku rasakan sampai detik ini. Seakan usaha untuk
menegakkan keadilan dengan cara itu sudah tidak manjur, tertelan zaman. Beda
sekali ketika masa reformasi, lima belas tahun silam. Sekarang, semua orang
acuh, apatis.
Gadis itu
berhenti, melihat aksi-ku. Tidak banyak yang ia lakukan.Ya, ia cukup melempar
senyum tenang dari jarak lima meter. Lalu kembali melanjutkan langkahnya. Aku
sempat menoleh kearahnya, namun sayang, hanya terlihat punggungnya yang mulai
mengecil, meninggalkan.
Itu empat tahun
yang lalu. Empat tahun yang cukup lama untuk menyimpan banyak Tanya. Siapa
gadis anggun itu? Dari fakultas apa? Dan siapa namanya? Ia seperti pelangi yang
tak pernah terlihat disepanjang musim kemarau. Begitu langka di antara para
gadis kebanyakan.
Aku
menghembuskan nafas kuat. Menyelonjorkan kaki di bawa meja, ruang baca, di
perpustakaan. Satu persatu halaman buku yang sejak satu jam lalu-ku cengkeram
kini mulai menipis. Lalu-lalang mahasiswa semakin banyak, namun suasana tetap
tenang dan kondusif. Udara yang berhembus dari balik jendela membuatku betah
berlama-lama menghabiskan tumpukan-tumpukan buku yang sudah lama mengantri, sabar.
“Eh! Ni abang
yang suka aksi di depan kantor rektor, bukan ya?” suara lembut itu menghentikan
bacaanku. Aku berpikir sejenak, “Hmm iya,,” menoleh, menyelidik wajah yang
menyembul tiba-tiba di depan mataku.
“Raisa.”Ia
menjulurkan tangan.
“Panggil aja Bang
Say.”Tanganku menyambutnya, bersalaman. Seketika nafasku tertahan untuk
beberapa detik. Mengingat peristiwa empat tahun silam dan juga gadis dalam
mimpiku. Benar! Ini senyum yang telah lama aku nantikan. Senyuman manja yang
tertunda oleh waktu yang cukup lama. Dan sekarang, senyum simpul itu terlihat
jelas di depan mata. Hanya berjarak tak lebih dari lima jengkal. Rasanya
seperti turun hujan setelah tujuh tahun dilanda kemarau, mengerikan.
Raisa mengangguk,
senyum ramah mengembang lagi.
Lesung pipinya.
Aku pernah melihat lesung pipi itu di dalam mimpi. Namun, di dalam mimpi ia
tampak murung, tidak seperti sore ini. “Ah! Itu hanya mimpi,” tepisku segera
membuang firasat buruk.
Aku masih
tertahan, salah tingkah sambil berusaha menguasai diri. Antara terkejut, bingung,
dan senang, menyatu. Aku pun mengatur nafas.
“Abang, bukankah
aksi itu percuma dan kuno?”Ia mengawali pembicaraan, memecahkan keheningan. Aku
menarik kursi, membenahi posisi duduk. Ia lebih dulu duduk dengan posisi yang
nyaman sambil menatapku, ingin tahu.
Aku tertawa
samar, “Apapun hasilnya, setidaknya itu akan membuat mereka terpojok.”jawabku
sekenanya sambil berusaha memasang wajah semanis mungkin. Masi belum percaya
gadis yang selama ini aku tunggu, aku cari, bahkan hadir di dalam mimpi tengah
duduk memandangku antusias. “Dan kau jadi tahu, bukan? Apa yang terjadi di
kampus tercinta ini?” Kali ini aku tertawa menggoda. Berusaha mencairkan
suasana tegangku sendiri. Raisa pun ikut tertawa kecil.
“Iya deh! Salut
buat aksi-aksinya.” Raisa mengacungkan kedua jempolnya. “Aku duluan bang, sudah
ditunggu teman di luar.” Ia menarik tubuhnya dari kursi. Membenahi beberapa
tumpukan buku yang beberapa menit lalu diambilnya dari rak untuk dilaporkan
kepada petugas perpus, lalu berlalu sebelum aku bertanya balik kepadanya.
“Oke, silahkan!”
aku mengangguk. Dan Raisa kembali tersenyum sebelum benar-benar meninggalkan
kursinya. Aku sungguh mengingat senyuman itu. Bibir tipis berbalut lipgloss
merah lembut beserta lesung pipi yang nyaris tiada duanya di dunia ini. Raisa
pergi meninggalkanku dengan segala tidak kepercayaanku atas hadirnya, sapanya,
dan senyum lembutnya.
Seketika
kembali sunyi.
Aku pernah
mendengar dari beberapa mahasiswa. Raisa adalah gadis yang tertutup. Di antara
puluhan laki yang ingin mendekatinya, tak satupun yang bisa meraih isi hatinya.
Raisa hanya bergaul dengan anak-anak perempuan. Mungkin sebentar lagi aku akan
menjadi salah satu bagian dari puluhan laki-laki sia-sia itu. Tak mampu
mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di dalam hidup gadis itu? Karena aku
sendiri bukan tipe laki-laki yang romantis apalagi penakluk wanita. Aku terlalu
sibuk dengan tumpukan buku, isu-isu kampus bahkan negara yang terus saja menumpuk
seperti sampah yang bau busuknya semakin merajarela.
Memang. Aku
kadang iri dengan mereka yang menghabiskan waktunya untuk bermain ke
sana-kemari bersama kekasihnya. Mengukir kenangan manis, menyumet lilin di
malam remang hanya untuk sekedar dinner atau bercanda. Aku bukan mereka yang
bisa mencintai wanitanya sepanjang malam, jam, menit, maupun detik.
Dan malampun
menjemput. Satu dua orang mulai mengisut meninggalkan perpus yang luas, penuh
dengan deretan buku yang membisu. Bagi mahasiswa semester tua, malam bukanlah
hal yang menyeramkan ketika harus duduk di perpustakaan seorang diri. Justru,
kebanyakan mahasiswa yang telah usia lanjut sering menghabiskan waktunya
berlama-lama di perpus sampai benar-benar ada petugas mengusirnya.
Kali ini, aku
pun mengalaminya. Diusir, karena jam jenguk perpus sudah habis.
***
Pagi ini masih
terbungkus embun, rapat. Baunya tercium mesra berkat semilir angin yang
berhembus pelan. Dahan-dahan palm di sepanjang jalan menuju area parkir
fakultas komunikasi bergerak lembut menyambut kedatanganku. Angin itu
menggoyangkan daun-daun penuh kelembutan. Seperti penari jawa yang
melenggangkan badan, menggerakan sampur penuh kehati-hatian, namun penuh dengan
makna. Atau seperti seorang kekasih yang membelahi lembut rambut gadisnya.
Aku meletakkan
beberapa tumpukan stopmap yang berisi revisian skripsi di kursi, samping area
parkir, yang biasanya dijadikan tempat anak-anak nongkrong. Mataku menyelidik,
membuka lembaran revisian yang di corat-coret dosen tua renta tapi tetap saja
aku mengidolakannya. Menurutnya demokrasi yang selama ini diagung-agungkan
masih menjadi isapan jempol. Di tengah euforia demokrasi terdapat setumpuk
kegelisahan. Mungkin benar apa yang dikatakan Ronggowarsito, jamane jaman edan yen ora edan ra keduman.
Semua akan berebut kekuasaan tanpa pandang bulu. Yang gila semakin menggila,
yang waras jadi ikut gila.
“Gila! Mau
tidak mau aku harus selesai minggu ini.” Mataku terbelalak membaca pesan
singkat Nano. Pendaftaran wisuda habis di bulan ini. Aku menelan ludah, memastikan
semua akan berjalan lancar sebelum spanduk pembayaran semester depan terpasang
di setiap pintu masuk fakultas. Aku mendesis penuh harap.
“Abang, bisa
minta tolong?” suara perempuan tiba-tiba terdengar samar. Aku menoleh, melihat
gadis kemarin sore itu kembali berdiri di sampingku. Benar-benar pagi yang
gila. Kabar dari Nano sekaligus kedatangan Raisa yang tiba-tiba membuatku
semakin gila. Ia berdiri tiga jengkal dari
mata telanjangku.Terlihat cantik, sempurna.
Aku masih menoleh,
““Eh! Iya Raisa, ada, ada yang bisa
abang bantu?” suaraku tergagap. “Duduk dulu,” pintaku cepat sambil memindahkan
tumpukan stopmap ke atas pangkuanku.
“Raisa boleh
minta pulsanya, buat sms emak di kampung, ga bang?” katanya tanpa basa-basi. Terlihat
setumpuk kesedihan di raut wajahnya. “Counter masih pada tutup bang.” Lanjutnya
manyun. Aku mendengarkan, takzim. Menatap bibirnya yang melengkung ke atas. Tapi
tetap saja tak ada yang berkurang dari kecantikannya. Siapa yang tidak terpikat
oleh gadis secantik Raisa? Melihat bibirnya mengembang saja sudah tak karuan
rasanya. Apalagi dimintain bantuan di sepagi ini, dimana belum terlihat
dosa-dosa yang berkeliaran. Nafasku mendesis, senang.
“Ini-ini. Pulsa
abang masih banyak.” Raisa mengambil alih ponsel jadul dari tanganku. “Emak di
telpon aja, biar bisa dengar suaranya.” Pintaku bijak.
“Terima kasih
bang, sms aja.” Sahutnya cepat lalu sibuk mengetik ponsel milikku.Ia tampak
serius. Tak terlihat lesung pipinya, mata bulatnya yang berbinar. Hanya
terlihat bibirnya komat-kamit mengeja setiap kata, di layar ponsel.
Untuk sekian
menit, hening.
“Sudah bang,
Raisa duluan ya.Terima kasih sekali lagi.” Terlihat ada kesedihan di sorotan mata
indah itu. Begitu ketara.
“Iya Raisa,
hati-hati di jalan.” Balasku berusaha memahami isi hatinya. Aku terdiam
sepanjang Raisa masih terlihat punggungnya.Ia berjalan tergesa. Entah apa yang
sedang menimpa perasaannya. Siapa pula yang merenggut senyum renyahnya? Untuk
sekian menit, aku berusaha mencari jawab lewat gelagat ganjilnya. Sambil
garuk-garuk kepala, aku melangkah meninggalkan bekas duduk Raisa untuk menemui
sang eksekusi tulisanku.
***
Huuuuffffff…. Aku membuang nafas panjang berkali-kali. Setelah
mengeksekusi skripsi yang sudah lama terkatung-katung akhirnya sekarang bisa
bernafas lega. Sedikit ada pencerahan setelah selama berbulan-bulan bertapa di
perpustakaan, lari sana- sini mencari data dan narasumber, hari ini terbayar
sudah. ACC bab empat. Tinggal menghitung hari, out dari kampus ini.
Matahari pun
agaknya tengah bersuka cita. Tidak seperti biasanya yang terlihat muram,
bersembunyi di balik awan kelabu. Sinarnya menembus rimbunan pohon angsana yang
menjulang tinggi. Betapa indahnya hidup ini. Di warnai oleh maha karya Tuhan
yang menakjudkan. Bunga-bunga angsana kuning berjatuhan, menyebar. Menutupi setiap
ruas jalan. Seperti lautan kuning yang menggemaskan. Layaknya musim semi di
Jepang. Bunga Sakura bermekaran di sepanjang jalan. Bagi penduduk Jepang, itu mempunyai
arti yang sangat luar biasa. Ya, mekarnya kuncup-kuncup bunga berwarna putih
dan pink adalah awal masa depan yang cerah yang penuh dengan pengharapan.
Selain itu bunga sakura memiliki makna tentang kehidupan yang hening, sejuk,
bahagia dan tenang. Bunga ini juga bermakna akan sebuah perpisahan, yakni
ketika bunga-bunga yang menawan itu mulai berguguran.
Pandanganku mengeliling,
melihat hamparan jalan yang menguning, terinjak-injak oleh ratusan kaki yang
hilir mudik mengejar waktu di kampus ini. Tiba-tiba, aku teringat Raisa.
“Mak, maafin
Raisa ya ga bisa membuat emak bahagia. Sampekan salam buat bapak, nanti jam
tiga Raisa ke luar negeri ada study of change. Untuk perjodohan itu, sebaiknya
ditunda dulu sampai Raisa benar-benar bisa melupakan Bang Topan. Terima kasih
mak, doakan Raisa baik-baik saja.”
Mataku
terbelalak. Membaca pesan singkat itu berkali-kali. Aku berusaha mencerna apa
yang sedang menimpa gadis cantik itu. Keluar negeri? Itu berarti ia tidak hanya
meninggalkan emak, Topan, dan calon jodohnya, tapi Raisa juga akan meninggalkanku. Menghilang
begitu saja sebelum aku benar-benar mengenalnya. Belum tahu apa kesukaannya? Apa
hobinya? Warna favoritnya? Dan apa yang membuat ia menjauhi laki-laki selama ini. Ah! Topan?
Siapa Topan? Sejauh apa hubungannya dengan Topan hingga tidak menginginkan
perjodohan yang digelar keluarganya. Seberapa penting laki-laki itu dalam
hidupnya? Aku mengbuang nafas, percuma.
“Sebelum
terlambat, aku harus menemukannya.” gumamku lirih, bangun dari duduk, meninggalkan
kebebasan yang baru saja aku nikmati. Aku berlari kecil, mencari jejak keberadaan
Raisa. Bertanya ke beberapa mahasiswa yang melintas di depanku. “Oh Tuhan! Bodoh
sekali diriku. Gadis yang telah menemani mimpiku selama ini akan pergi. Bodoh!!!
disaat ia menghampiriku tanpa aku minta, aku tak memanfaatkannya dengan baik.”
Gerutuku, menyumpahi. Sampai mentari benar-benar tenggelam, lelap dalam pangkuan,
aku tak menemukan keberadaan gadis rupawan itu. Menyesal.
***
Tak ada yang
spesial di hari ini. Kecuali tadi pagi, bab terakhirku sudah di ACC oleh kedua
pembimbing. Antara senang karena PR-ku di kampus ini hampir selesai, namun juga
sedih kehilangan orang yang aku puja selama ini, Raisa. Aku menatap monitor
lipat, tanpa ekspresi. Kegalauan sedang menimpaku siang ini. Entah, di luar
sana matahari juga turut berduka atas perasaan ini.
“Tidak mungkin
kalau aku menghubungi nomer emaknya Raisa. Itu hanya akan menambah masalah. Karena
aku belum mengenalnya.” Pikirku dalam hati, melamun. “Tapi, dimana aku
harus menemukannya?” Tanganku mengusap wajah,
pasrah.
Di luar, rintik
lembut menyambut kegelisahanku. Begitu juga perpustakaan, hari ini terlihat
lengang, seperti acuh atas kesedihan yang menimpaku. Mungkin saja detik ini para
pengunjung perpus ingin bersantai menikmati gerimis bersama kekasihnya. Saling
bermanja dengan diiringan gerimis lembut di emperan, di rumah makan, atau
nonton bioskop romantis. “Satu detik, aku telah kalah. Kehilangannya untuk
selama-lamanya.” Gumamku lemah.
“Abang?”
Suara itu
menyentakkan. “Raisa???” menoleh ke arahnya tanpa berkedip. Aku mencubit
pahaku, berusaha meyakinkan kalau gadis itu benar-benar gadis yang membuatku kalang
kabut. Aku terhenyak, berdiri, lalu mempersilahkannya duduk, di depanku, tepat
di sebelah jendela perpustakaan, lantai tiga.
“Apa yang kau
lakukan di sini?” tanyaku basa-basi mengawali, masih terkejut.
“Hanya ingin
bersantai sejenak saja, bang.” Balasnya berusaha menutupi pilu. Ia melempar senyum
simpul. Seakan memamerkan dirinya sedang baik-baik saja. Ia menaruh beberapa
buku di meja. Terlihat buku warna kuning langsat, Siti Nurbaya karya Marah
Rusli.
“Oohh!” aku
mengangguk ringan sambil melirik tumpukan buku di depannya. Berusaha menerima
jawabannya, yang sebenarnya jauh dari keadaan yang aku lihat sekarang ini.
“Abang
sendiri?” tanya Raisa menyelidik.
“Hah? Aku?” spontan
telunjukku menuding hidungku, diikuti bola mata membulat. Raisa mengangguk. “Ini
sudah menjadi salah satu bagian hidupku, duduk termenung seorang diri.” Jawabku
sedikit melampiaskan kesepian yang selama ini telah membelenggu. Aku tersenyum getir
mengakhiri.
“Iya, aku tau
itu. Aku sering melihat abang duduk di sini. Hanya saja, maaf, aku tidak pernah
menyapa abang.” Raisa menunduk merasa bersalah.“Abang saja yang terlalu acuh
dengan orang-orang yang berkunjung ke sini. Abang sudah terhipnotis oleh lembaran-lembaran
tulisan para tokoh nasional maupun dunia. So,
i don’t want to disturb you.” Lanjutnya jujur dengan
ekspresi kesal karena keegoisanku.
Aku menyengir
sambil mengibaskan tangan. “Ah! Itu hanya sebagian kecil yang kau tahu
dariku.”
“Hmmm, abang
kenapa tidak mengajak teman atau pacar ke sini? Mungkin akan lebih hidup lagi.”
Raisa menatapku, serius. “Eh! Maksudku, jika ada point penting yang perlu
didiskusikan, kan enak kalau ada temannya, bang.” Raisa tertawa malu sambil
membenahi jilbab merah yang mungkin menurutnya sudah berubah posisi.
“Sekarang aku
sudah bersama teman, atau bisa jadi calon kekasih.” Jawabku menggoda sambil tertawa lepas.
“Hmm gitu ya
bang?” timpalnya cepat dengan ekspresi datar.
Begitu polos. Dan
aku pun tertawa lebar memecahkan kesunyiaan siang itu.“Kau terlihat begitu
takut mendengar ucapanku barusan?” Aku menyelidik. Berusaha membaca mimik
wajahnya.
Raisa terdiam,
cukup lama. Seketika tawaku terhenti, menggigit bibir. Terlihat ekspresinya
begitu serius, antara ada luka dan terbayang-bayang masa lalu. Di saat seperti
itu, aku ingin sekali memeluknya. Mencairkan hatinya yang sedang menggumpal setumpuk
kesedihan.
Aku tersenyum
simpul, “Are you oke?” memasang wajah simpatik.
“I’m fine, bang.” Balasnya datar,
sedikit mengangguk.
Aku membuang
nafas perlahan, “Syukurlah, tapi aku tak melihat Raisa di sini. Apa kau telah
merenggut Raisa yang dulu. Raisa yang selalu tersenyum tulus? Apa kau bukan Raisa?
Hah?” Aku memberondong pertanyaan dengan intonasi pelan, berusaha menjaga
perasaannya. Menelangkupkan ke dua tangan di atas meja, sambil terus memandang semburat
wajahnya yang terkesan ganjil.
“Maaf bang, sms
yang Raisa kirim ke emak itu bohong. Abang pasti sudah membacanya?” Ia memandangku,
sayu.
Aku mengangguk
pelan,“lantas?”
Giliran Raisa
yang membuang nafas, terdengar desisnya kuat. “Raisa belum bisa menggantikan
nama Topan di hati Raisa. Topan harusnya jadi milik Raisa selamanya. Tapi….” Ia
memutus ucapannya. Terlihat bulir bening keluar dari sudut matanya. “Topan
hanya laki-laki kampung bang, menurut keluarga, dia tak pantas untuk Raisa. Dan
Raisa ingin dijodohkan.” Ia menunduk, mengakhiri ceritanya.
Aku menelan
ludah. Harusnya aku mengenalnya sejak dulu. Sejak pertama kali aku melihatnya,
di depan kantor rektor. Mungkin saja dengan begitu, tidak akan ada perjodohan
mapun Topan di hatinya. Topan? Laki-laki kampung? Ah! Menurutku itu sudah
banyak kisahnya. Laki-laki kampung menikah dengan gadis cantik dan juga lebih
tinggi pendidikannya. Asalkan laki-laki itu tanggung jawab dan membuat istrinya
bahagia, kenapa harus dipermasalahkan. Dunia ini tak adil. Sedang Tuhan telah
menciptakan keduanya bertemu, itulah yang seadil-adilnya.
“Abang, Maaf
ya…” Raisa mengangkat wajahnya. Menatapku dengan bulatan mata sayu, merasa
bersalah.
“Hmm,, kau
berbohong mungkin karena kau terpaksa dan bingung tidak tahu apa yang harus
kamu lakukan. Meskipun itu sebenarnya tetap salah.” Aku menangkap kedua bola
matanya. “Ya,ya, ya, aku bisa memahami, dan tentu saja aku memaafkanmu.” lanjutku
cepat sebelum ia berpikir lain.
Suasana kembali
hening. Gerimis di luar terlihat sendu. Membasahi apa saja yang ditimpanya. Membuat
jendela kaca mengembun, bisa dibuat ukiran kebahagiaan atau bahkan kesedihan
sebagai pelampiasan sesaat. Aku mendesis kuat. Membuang wajah ke luar jendela.
Raisa tertawa
samar. “Inilah kebodohanku, bang. Harusnya aku menurut saja dengan perjodohan
itu. Tapi, mungkin saja aku tak mampu menjadi istri yang baik karena aku memang
tak mencintainya. Dan hanya materi saja yang melimpah di depan mataku, bukan
hati kecil ini.” Senyumnya masih terdengar getir.
Aku berusaha
membaca apa yang sebenarnya Ia inginkan. Dengan membuat cerita bohong, lewat
pesan singkat, di ponselku, itu berarti ia menginginkanku terlibat dalam
permasalahannya. Aku mengangguk, berusaha membuatnya tenang. “Apa kau pernah
mendengar kisah Siti Nurbaya?” aku sedikit melirik buku di depannya. Raisa
mengangguk.
“Siti Nurbaya
dijodohkan karena orang tuanya tidak mampu membayar hutang. Dan Nurbayalah yang
menjadi jaminannya, menikah dengan Datuk Maringgih yang sudah tua renta.” Raisa
mendengarkanku, takzim.
“Dalam masalah
ini, kau bukan Siti Nurbaya. Orang tuamu mungkin saja tidak berhutang dengan
keluarga calon jodohmu, hanya saja orang tuamu tak ingin kau menyesal
dikemudian hari. Hidup dengan laki-laki, maaf, yang belum jelas masa depannya. Emak
tak ingin kisah Siti Nurbaya yang dijodohkan karena sebuah hutang menimpa
anakmu kelak.” Aku berusaha menjelaskan penuh takzim.
Raisa menarik
nafas kuat, lalu membuangnya perlahan.
“Sudah saatnya
kau mengambil keputusan. Tidak baik kalau kau hanya mengulur-ulur waktu,
sedangkan kau sendiri tak tahu rencana Topan selanjutnya. Apakah Topan akan
terus berjuang? Atau hanya akan mengikuti arus yang entah dimana muaranya.” Aku
menyandarkan punggung ke kursi, merilekskan badan sambil terus memandang Raisa
yang setidaknya terlihat lebih baik.
Suasana berubah
khitmad. Hanya terdengar desah nafasku dan juga Raisa.
Raisa melirik
jam tangan, “Terima kasih bang, Raisa akan segera mengambil keputusan. Dan
sekarang Raisa ada urusan, duluan ya...” sambil bangun dari duduknya.
“Ooh, ya,,”
balasku pendek, mengangguk pelan. Ia mengelap kedua sudut mata yang sembab. Lalu
pergi, kembali meninggalkanku dalam kesepian.
***
Satu minggu
berlalu. Semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Termasuk diriku. Memburu
waktu yang sebentar lagi menggilas perjuangan panjangku. Terlambat satu detik,
semua akan sia-sia. Dan aku harus mengeluarkan biaya lagi untuk semester
berikutnya.
Namun, tidak.
Aku mampu menakhlukkan sang waktu. Satu minggu yang sangat berarti. Semua
berjalan seperti yang diharapkan. “Selamat ya Say,” ucapan itu terus membanjiriku
siang ini. Tepat setelah aku keluar dari ruang sidang. “Terima kasih kawan,”
balasku tulus sambil melempar senyuman paling manis sebagai hadiah untuk mereka
yang membantu selama ini.
“Astaga! Sudah lama aku melupakan Raisa.
Dimana dia sekarang?” Tiba-tiba aku teringat gelagat cantik setelah tiada
senyuman khas yang terlihat di antara orang-orang yang mengkhadiri
persidanganku. Aku segera meninggalkan kerumunan, mencari sosok Raisa.
“Jangan sampai
ia memilih perasaannya, tetap teguh bersama Topan. Jangan pula ia menerima
perjodohan itu, karena aku lebih baik diantara keduanya.” Gemingku selama menapaki
jalan dan ruas-ruas gedung. Aku berlari, memasuki, menelisik setiap ruang
perpustakaan. “Ooohh Tuhan! Lagi-lagi aku menjadi laki-laki bodoh untuk urusan
hati. Kenapa dari awal aku tak memberinya solusi? Bedebah!” Umpatku kesal. Membanting
kepalan tangan ke atas meja, dimana satu minggu yang lalu masih melihat senyum
cantik itu di sini. Ya, di kursi ini. Bersama gerimis sendu yang menyatu.
“Ada yang bisa
dibantu?”
Suara khas itu
terdengar samar.
Aku menoleh ke
sumber suara, “Raisa?” Mataku berkaca-kaca. Menatapnya begitu lama, lalu menggeleng
tak percaya.
Raisa tertawa
lebar. “Abang ini kenapa?” Raisa memanadangku mulai dari ujung kaki hingga
kepala. Lalu meletakkan tubuhnya di kursi, sama persis seperti satu minggu yang
lalu. Sedang aku masih berdiri mematung, melihatnya seperti siluman yang
tiba-tiba muncul tanpa peduli apakah yang disapanya punya riwayat lemah jantung
atau tidak. Raisa melihatku tanpa merasa bersalah.
“Aku? Aku takut
kehilangamu.” Jawabku jujur. Masih mematung.
“Duduk dulu,
bang…!” pintanya, berusaha menenangkanku. Ia menelangkupkan kedua tangannya di
atas meja, tertib. Seperti anak-anak SD yang diajar guru paling killerdi sekolahnya.Duduk
sedeku, tenang, karena takut.
Untuk sekian
kali, aku bernafas lega. Lega sidangku telah usai, dan lega melihat gadis
cantik itu kembali menatapku tajam. Aku mengatur nafas, “Aku bingung mencarimu,
Rais.” Ucapku setelah merasa tenang.
Raisa
tersenyum, “Raisa belum mengambil keputusan, seperti yang abang sarankan
seminggu yang lalu.” Ia seolah-olah tahu apa yang aku rasakankan selama ini,
dan terutama untuk detik ini.
“Kenapa?” aku
memasang wajah terkejut.
“Abang tau apa yang seharusnya abang lakukan untuk
Raisa. Jadi, sebaiknya Raisa menunggu abang, bukan Topan, maupun jodoh siapa
namanya Raisa belum tau.” jawabnya dengan ekspresi penuh harap.
“Hmmm, Apa kau akan menerima keputusanku?”
“Ya, karena itu
keputusan Rais juga.” Balasnya yakin.
Aku mengangguk,
“Baiklah! Aku bukan Topan, bukan pula jodoh siapa itu, tapi aku Sayuti ingin
melamarmu sebagai pendamping hidupku.” Kataku mantap sambil terus menatap kedua
sudut mata Raisa yang teduh.Cukup lama aku memandangknya. Raisa hanya terdiam,
terpaku.
Aku meraih
tangannya, “Aku tak ingin kehilanganmu lagi, walaupun satu detik saja. Apa kau
percaya dengan ucapanku?” terus saja memandangnya.
Raisa mengangguk
diikuti senyum khas yang mengembang di bibir lembutnya. Lesung pipinya terlihat
jelas, kalau Raisa benar-benar tersenyum karena bahagia. “Raisa menerima
pinangan abang siang ini dan untuk selamanya.” Suara lembutnya seperti mata air
yang bergemerik di sela-sela perbukitan, begitu damai. Dan deretan rak yang
mematung di setiap sudut ruang, menjadi saksi bisu, kisah cintaku detik ini dan
untuk selamanya. Bibirku menyentuh lembut kedua tangan Raisa. Ooh begitu manis.
***TAMAT***
Ikhah Yuyule
Boyolali, 16
Desember 2013